Alfred Simanjuntak:
Harus Melakukan Sesuatu

 

Bangun Pemudi Pemuda Indonesia
Tangan bajumu sing-singkan untuk Negara
Masa yang akan datang, kewajibanmulah
Menjadi tanggunganmu terhadap Nusa,
Menjadi tanggunganmu, terhadap Nusa
[Syair bait pertama lagu Bangun Pemudi-Pemuda]

Kalau kita ditanya, tahu lagu itu? Pasti tahu ya. Tapi kalau ditanya siapa yang menciptakan lagu itu? Mikir-mikir dulu untuk menjawabnya. Siapa ya? Alfred Simanjntak [90]. Hm..siapa nyana, lagu itu lahir di kamar mandi. Waktu itu, Alfred seperti mendengar suatu lagu, yang terdengar enak di telinganya. Ia cepat-cepat keluar untuk menuliskan syairnya. Ia mengakui, sebagian proses penciptaan lagunya memang seperti itu. Selain Bangun Pemudi Pemuda, ia menciptakan lagu Negara Pancasila, Indonesia Bersatulah, Kami Berjanji, Saudara Berpulang Dulu, hingga Himne Partai Kebangkitan Bangsa, Selamatkan Terumbu Karang, Himne RS PGI Cikini, dan tujuh lagu dalam Kidung Jemaat di antaranya Jika Padaku Ditanyakan (432) dan Bapa Kami yang di Sorga (456).

Selain pengarang lagu perjuangan dan lagu rohani, Pak Siman, begitu ia biasa disapa, pernah jadi wartawan, guru dan direktur BPK Gunung Mulia. Kini di usianya ”yang baru” 90 tahun, walau suka pikun, ia tidak pernah diam. Baginya, harus melakukan sesuatu. Awal Desember lalu, Alfred Simanjuntak, menerima Majalah Dia, untuk bincang-bincang, di rumahnya, di kawasan Bintaro, Tangerang. Berikut petikannya:

Bisa cerita sedikit masa kecil Pak Siman?
Saya lahir tanggal 8 September 1920. Saya bahagia dan berterima kasih kepada Tuhan untuk umur dan kesehatan yang dikaruniakan-Nya kepada saya. Saya lahir di Parlombuan, sebuah desa di Tapanuli, Sumatera Utara, yang sangat sederhana. Sampai saya umur lima tahun, keluarga kami tidak mengenal piring, mangkok atau gelas, sendok dan garpu, meskipun ayah guru sekolah dasar di wilayah itu. Sebagai piring untuk seluruh keluarga dipakai piring kayu besar dan cukup tebal, yang dapat dikelilingi oleh empat sampai lima orang. Nasi ditaruh di tengah piring kayu itu, dan masing-masing mengambil dari bukit nasi itu sesuai dengan panggilan perutnya. Gelas atau mangkok tidak ada, untuk minum dipakai batok kelapa yang dibelah dua. Kalau ke sekolah, kami harus berjalan kaki 90 km. Mobil pertama yang kami lihat, di tahun 1926, dan kami begitu takut akan “dilihat” mobil itu, sehingga kami lari tunggang langgang bersembunyi dalam semak-semak dan baru berani keluar ketika mobil sudah cukup jauh.

Pak Siman lahir tahun 1920, walau mengaku suka pikun, tapi masih fit, apa rahasianya?
Saben dino mangan jangan (Setiap hari makan sayur, Red). Itu yang saya dapatkan ketika masih di Solo, “Ayo, saben dino mangan jangan”. Kami, orang Batak, kaget, apa itu mangan jangan? Baru setelah dijelaskan, kami paham. Kalau ditanya masalah kesehatan saya, memang itu jawabannya, sayur, sayur, dan sayur. Makan kalau tidak ada sayur, tak bisa. Mesti ada kuah. Kalau kering-kering, saya tidak bisa menelan.

Selain itu?
Ya, saya masih terus membaca, supaya otak ini terus diasah untuk berpikir. Juga berlatih atau melatih paduan suara, mengarang lagu. Biarpun saya akui, kalau mengarang lagu, minta ampun, lambat. Saya tahu. Yang lain sudah empat lima lagu, saya baru satu.
Saya membaca dalam aksara dan bahasa Batak, seperti Injil Yohanes ini. Waktu masih di HIK (Holands Inlandse Kweekschool, di Solo, Red), saya bisa menulis dalam aksara ha-na-ca-ra-ka, cuma sekarang sudah lupa.

Kalau Injil Yohanes ini masih saya baca dengan cukup lancar, ditulis dalam aksara Batak, bahasa Batak Toba sehari-hari. Bahasanya dipermodern dibanding Kitab Yohanes yang resmi dipakai sehari-hari di gereja. Kadang-kadang terselip bahasa Indonesia. Ini untuk latihan otak dan mata.

Suka mengisi Teka-teki Silang?
Ya, tentu. Teka-teki silang di Suara Pembaruan selalu saya coba isi. Lumayan, kadang-kadang terisi semua. Enak rasanya, plong, kalau terisi semua. Tetapi, kadang-kadang kalau nyangkut, mentok, cuma bisa separo, uuhh, gemas juga. Kok nggak bisa? Bagaimanapun, mengasah otak itu memang perlu.

Soal lagu “Bangun Pemudi-Pemuda”, kenapa Pak Siman sebutkan dulu “pemudi” baru “pemuda”?
Memang pemudi lebih penting daripada pemuda. Ya. Adakah yang lahir tanpa pemudi? Pemudi lebih penting. Walaupun di Firdaus itu manusia jatuh karena pemudi. Memang, di sini biasanya kita sebut dulu “bapak” daripada “ibu”. Nah, saya mau labrak itu. Di mana pun, di dunia, disebutkan ladies and gentlemen, juga di Belanda, di Jerman, dan banyak belahan dunia lain.

Dan, lagu itu, Bangun Pemudi-Pemuda, lahir di kamar mandi. Proses penciptaannya di kamar mandi. Saya seperti mendengar sebuah lagu. Kok enak. Saya cepat-cepat keluar untuk menuliskan syairnya. Kira-kira satu jam, sudah jadi lagu itu. Waktu itu saya di Semarang, mengajar. Sekolah itu memerlukan lagu yang penuh semangat. Lahirlah lagu itu.

Ketika Jepang kalah, setelah pertempuran lima hari, suatu hari ada yang menelepon saya, mengaku intel Jepang, memberi selamat, saya masih hidup. Puji Tuhan. Nama saya ada dalam daftar. Sungguh, saya tidak bisa lupakan telepon si bapak itu. “Selamat, masih hidup.”

Memang tidak hanya lagu itu yang memberi semangat. Lagu Di Manakah Tanah Airku, misalnya, juga memberi semangat kepada anak-anak muda itu, antara lain Sudharmono (mantan Wapres), Titiek Puspa, juga Ali Said (mantan Jaksa Agung). Itu mantan murid-murid saya.

Masih suka ketemu dengan bekas murid?
Tidak banyak lagi. Sudharmono itu, dulu yang memberikan perintah, aba- aba, setiap pagi, saat kami harus menghadap Tokyo sebelum menyanyikan Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang.

Menyenangkan kalau ingat semua yang saya lalui mulai dari zaman dusun, ke zaman Belanda, lalu datang zaman Jepang, lalu zaman merdeka dengan Bung Karno. Bagi saya Bung Karno itu unforgettable. Semangatnya itu lho. Pada waktu itu tidak ada pilihan lain, merdeka atau mati. Meneriakkan “merdeka”, darah ini langsung mendidih.

Saya nggak tahu, kalau hal itu diserukan kepada anak-anak muda sekarang, apakah masih mendidih darah mereka? Saya sendiri nggak tahu bagaimana membangkitkan atau meningkatkan semangat patriotisme di kalangan anak-anak muda sekarang.

Pak Siman aktif mencipta lagu, pernah jadi wartawan, dan bergerak di pendidikan?
Ya. Wartawan atau penerbitan, tepatnya. Memang sempat jadi wartawan. Sekitar 1946, barangkali, masa Clash Kedua. Saya ikut dengan rombongan ke Yogya, untuk bertemu dengan Bung Karno, sebagai wartawan Sumber. Itu surat kabar kami dulu. Dan waktu itu belum ada komputer, masih pakai timah dalam proses pencetakannya. Tiap hari kami berkeliling, menulis Tajuk Rencana, dan menulis apa yang perlu dikumandangkan hari itu.

Itu sebelum menjadi guru atau sesudah?
Sesudah. Saya tamat sekolah guru tahun 1942, lalu bekerja di Semarang. Dari Semarang, saya pindah ke Jakarta. Masih sempat mengajar di SMP Manggarai, Jakarta Selatan. Lalu, jadi wartawan. Dari wartawanlah saya kemudian berkecimpung di penerbitan. Ada tokoh bernama Dr Verkuyl, datang ke rumah waktu saya masih tinggal di Kernolong, Jakarta Pusat. Saya masih wartawan. Dia mengajak untuk mendirikan penerbit Kristen.

Saya iyakan. Saya ini anak guru, guru zending, guru jemaat, berkobar sedikit semangat saya. Lalu, tahun 1950 saya masuk di BPK Gunung Mulia, sampai pensiun. Waktu jadi direktur BPK [Badan Penerbit Kristen] itulah sekalian saya menjadi penasihat penerbit Kristen se-Asia Pasifik. Ketika Pemerintah di tahun 70-anmengnajurkan untuk menerbitkan buku-buku Inpres, yaitu bacaan untuk anak-anak Sekolah Dasar, yang disalurkan melalui sekolah-sekolah, maka di antara semua penerbit yang berpartisipasi, BPK Gunung Mulia yang menerbitkan paling banyak judul dan eksemplar.

Di antara tiga profesi yang ditekuni itu, apa yang paling berkesan?
Mendidik. Yang paling saya sukai mendidik. Masa depan bangsa kita bergantung pada pendidikan, bukan bergantung pada korupsi. Kalau maju pendidikan, majulah bangsa. Bangsa Jepang itu kalah dalam Perang Dunia II, tetapi mereka tidak give up. Ayo, maju terus.

Jadi, ke cucu-cucu saya katakan, sekolah, sekolah setinggi-tingginya, sepintar-pintarnya. Ompung [=kakek] ini selalu nomor satu di kelas. Saya selalu menantang seperti itu kepada mereka. Dari SD sampai ke UI, selalu nomor satu di kelas. Waktu di UI, cuma ada satu di atas saya, dan itu orang Belanda, seorang pastor. Saya lupa namanya. Saya tidak bisa “pukul” itu.

Pak Siman menguasai berapa bahasa?
Bahasa Batak, bahasa Jawa (halus, kromo, Red), Belanda, Inggris, Jerman, Indonesia, Jepang masih bisa memahami, dan, tentu bahasa cinta (tertawa, Red). Saya ingin belajar bahasa Cina, tapi otak saya sudah terlalu tua, barangkali. Bagaimanapun, kalau ada kesempatan saya ingin coba. Maunya ada CD, supaya tahu tone language. Nadanya itu ikut menentukan.

Kalau Belanda itu sudah ibarat mimpi. Ketika saya ke Belanda, masuk keluar kampung, orang Belanda heran, “kok bahasa Belandamu bagus”.

Apa kesibukan sekarang?
Masih mengarang lagu, juga mengarang buku. Buku lagu-lagu yang diterbitkan, oleh Yamuger [YayasanMusik Gerejawi]. Setiap hari Senin dan Kamis saya ke Yamuger, di sana, para pengarang lagu, ada 8 orang, kumpul untuk bicara dan bahas lagu, termasuk lagu karangan kami.

Bagaimana Pak Siman mendapatkan pesanan himne PKB [Partai Kebangkitan Bangsa]?
Itu atas permintaan. Saya tidak ingat siapa yang menelepon, tetapi saya katakan, saya mau tapi harus dan ingin bertemu dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid, Red). Lalu saya ke rumah beliau, ngobrol-ngobrol. Bagaimana saya bisa mengarang kalau tidak menjiwai?

Di situ, hampir satu jam saya ngobrol dengan Gus Dur. Dari situlah sedikit demi sedikit mengenal Gus Dur yang berjiwa besar, berjiwa terbuka, tidak narrow minded. Waktu itu pembicaraan kami, yang saya rasakan, sebagai percakapan antarmanusia. Dia manusia Indonesia. Saya kagum. Saya senang, dan saya sayang sama dia. Walau ada keterbatasan fisik, tapi semangatnya sungguh luar biasa.

Berapa lama proses penciptaan?
Tidak lama. Tidak sampai satu bulan. Karena begitu bicara dengan Gus Dur. Di tengah jalan itu sudah mulai tergambar. Karena enak pembicaraan itu. Berisi, berjiwa. Ada kerohaniannya. Cepat. Lalu terbayang irama mars.

Pak Siman tidak pernah berhenti berkarya…
Ya, saya sangat bersyukur, di umur saya “yang baru 90 tahun” ini. Tapi buat saya, apa yang saya lakukan tidak bisa dilepaskan dari tangan Tuhan. Saya bekerja tanpa berharap apa-apa, saya hanya merasa harus melakukan sesuatu.

Apa keinginan Pak Siman di usia “yang baru 90 tahun” ini?
Seperti yang saya sampaikan kepada sebuah media, saya ingin umur lebih panjang lagi, kalau bisa 100 tahun. Tapi kalau dikasih, saya ingin tambah sepuluh tahun lagi. Dan sempurnanya adalah tambah satu tahun lagi, jadi 111. Kalau seperti itu sepertinya jalan ke Surga lurus sekali. Satu itu tegak lurus.

Apa pendapat Pak Siman tentang generasi muda saat ini?
Susah merumuskan anak muda sekarang. Saya sudah lama tidak bergaul dengan generasi muda. Kalau lihat anak saya sendiri sih, ya… mereka cukup baik untuk berbuat sesuatu bagi negeri ini. Kepada anak cucu saya, saya selalu berpesan untuk mencari ilmu yang banyak. Masa depan kalian ada di kota, beda sama kami yang dulu masih ada kebun untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi, saya mau bilang, nasionalisme generasi muda sangat kurang, cenderung individual, egois, jauh sekali dengan ketika saya muda. Anak muda sekarang ini sibuk untuk mengejar kemampuan diri, dan luput memikirkan bangsa. Mereka juga tidak punya semangat untuk menjadi pemuda terunggul di kancah dunia.

Begitu ya Pak?
Ya, generasi muda harus belajar habis-habisan. Studi. Supaya terangkat intelektualitas bangsa ini. Dan, mereka harus terus berjuang mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia! Jangan sampai negara ini jadi negara agama. Berjuang untuk negara ini dan bukan untuk kantong sendiri. Bangun kerukunan, bangun cinta akan bangsa…

[mengakhiri wawancara, Alfred Simandjuntak menyanyi lagu ciptaannya “Negara Pancasila”]

_______
*Diterbitkan di majalah Dia edisi Oktober 2010

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *