Zacheus Indrawan:
 “Kalau Mau Taat, Jangan Tunggu Sampai Mapan”

Zacheus Indrawan, profil yang kami hadirkan dalam wawancara eksklusif edisi ini adalah sosok alumni yang tetap concern terhadap pembinaan mahasiswa dan alumni. Baginya, seorang alumni Kristen harus menjadikan dirinya sebagai tentmaker, yakni sebagai ”misionaris” dalam profesinya.

Menurut sejarahnya, sebutan tentmaker ditujukan bagi para misionaris (penginjil) yang membiayai dirinya sendiri (pelayan mandiri). Namun dalam perkembangannya, sebutan ini diperluas sehingga para profesional, seperti dokter, pengusaha, guru, dan profesi lainnya pun layak menyandang “gelar” ini. Tapi tuntutan bagi seorang pelayan mandiri tidak main-main. “Ia harus mengutamakan ketaatannya kepada Allah,” ujar Zacheus.

Zacheus mengenal Kristus semasa mahasiswa di Persekutuan Kristen Antar Universitas (Perkantas) pada tahun 1972. Selama kurang lebih enam tahun, ia aktif melayani di kampus hingga meraih gelar sarjananya dari Fakultas Teknik Sipil Universitas Indonesia pada tahun 1978. Selang tiga tahun (1981), ia melanjutkan pendidikan di University of Auckland Selandia Baru, untuk mengambil Master or Engineering in Earthquake Engineering dan doktor dalam bidang Geotechnical Engineering di Universitas yang sama.

Pria kelahiran Jakarta, 23 April 1953 ini menikah dengan Monica pada tanggal 1 september 1979. Pasangan ini kemudian dikaruniai tiga orang anak, Adelaine Praisy (13), Berhany Grace (12), dan Chris Nathan (10). Hampir dalam seluruh kehidupannya Zacheus tidak pernah melepaskan kesempatan untuk melayani Tuhan, bahkan ketika enam tahun (1981-1986) berada di Aucktand, ia menjadi diaken di gereja Immanuel Reform Baptis. Yang konsisten dilakukannya adalah memberikan pembinaan melalui Pemahaman Alkitab (PA), eksposisi, dan ceramah-ceramah mengenai etika Kristen. Bersama Monica, isterinya, Zacheus bahu-membahu membina mahasiswa dan alumni, sampai sekarang. Saat wawancara berlangsung di kediamannya di Cinere, Sawangan, Monica mendampingi dan sesekali melengkapi penjelasan bapak yang sejak September 1996 menjabat sebagai Ketua Komisi Pelayanan di Yayasan Perkantas. Berikut hasil perbincangan DIA dengan Zacheus:

Bagaimana sejarah timbulnya pelayanan para tentmaker?

Ini mengacu pada cara yang dipakai Rasul Paulus ketika dia mengabarkan Injil. Di Kisah Para Rasul dan juga di Tesalonika, diceritakan bahwa Paulus tinggal di rumah Akwila dan Priskila. Profesi mereka sama, sebagai pembuat kemah (tentmaker). Dia menjadi pembuat tenda bukan sekedar iseng. Pekerjaan yang juga dilakukan oleh pasangan suami-isteri tersebut dijadikan sebagai penopang hidupnya. Tujuannya, antara, lain, supaya ia tidak menjadi beban bagi jemaat yang dilayaninya. Baginya, mengabarkan Injil tidak harus tergantung pada dukungan dana dari mereka. Dengan kata lain, untuk mengabarkan Injil sebisa mungkin tidak tergantung kepada orang lain. Ia ingin memberi teiadan kepada jemaat di Tesalonika, bahwa ia bekerja keras dengan tangannya sendiri. Namun dalam kesempatan lain dia mengatakan, mereka pun wajib mendukung atau membiayai hidup rasul-rasul yang lain.

Jadi boleh dibilang, di situ Paulus melakukan pelayanan secara mandiri?

Ya, mandiri dalam pengertian self support lho. Kalau ada orang yang mau menyumbang untuk pelayanan dia, itu bagus. Tapi kalau tidak ada, keadaan itu tidak dijadikan alasan untuk tidak mengabarkan Injil. Prinsip Paulus adalah, kalau tidak ada yang sanggup mendukung pelayanannya, dia masih bisa hidup dan melayani Tuhan. Tetapi harus diingat bahwa konteks pelayanan mandiri di sini bukan pelayanan yang berjalan sendiri-sendiri, yang terlepas dari tubuh Kristus.

Apakah konteks pelayanan seperti itu diterapkan sampai sekarang?

Dalam perkembangannya mengalami beberapa perubahan. Yang paling banyak dilakukan adalah dalam 15 tahun terakhir, yakni model pelayanan para misionaris yang bekerja sesuai dengan keahliannya, seperti dokter atau guru. Salah seorang teman saya tinggal di Nepal. Ia bekerja sebagai dosen, tetapi juga aktif membina jemaat di sana. Biaya hidupnya selain dari honor mengajar, juga dari dukungan kawan-kawannya di tanah air.

Dalam konteks pelayanan mandiri seperti yang dilakukan Paulus, orang seperti teman saya ini bukan tentmaker, karena masih turus disupport. Gajinya sebagai dosen tidak cukup untuk biaya hidupnya. Pelayan mandiri yang “asli” adalah para misionaris yang menghidupi dirinya, bahkan keluarganya, dari hasil pekerjaannya.

Tetapi banyak orang yang menyebut dirinya tentmaker padahal dia bukan misionaris. Umumnya mereka adalah alumni yang dikirim ke negara lain oleh kantor/perusahaannya dan melayani di sana.

Kita melihat ada pengertian tentmaker dalam arti sempit dan pengertian yang luas. Pengertian yang sempit, mengacu pada model pelayanan yang dilakukan Paulus. Dia adalah misionaris yang membiayai dirinya sendiri. Sementara tentmaker dalam pengertian yang luas ditujukan kepada semua orang yang percaya kepada Kristus. Concern-nya lebih pada pembinaan orang-orang Kristen yang harus memiliki standar nilai yang sama. Sebagai akuntan, dia memiliki standar nilai yang sama dengan orang Kristen yang jadi penginjil. Para akuntan Kristen ini tidak boleh melakukan praktek-praktek kecurangan dalam pekerjaannya meskipun hal itu dianggap wajar oleh lingkungannya. Memang berat untuk mewujudkan itu. Harus ada akuntan Kristen yang mendalami betul-betul penyimpangan yang terjadi, dan bisa mengajarkan kepada rekan-rekannya bagaimana supaya tidak menyimpang. Ini pekerjaan misionaris kan sebetulnya? Nah, tetapi tidak semua misionaris mengerti benar persoalannya.

Kedua, tantangan dari keluarga dan teman-teman dekat. Ini sangat terasa waktu saya baru mulai menggumuli pelayanan ini. Yang paling berat dari keluarga. Waktu saya mengajar di UKI (Universitas Kristen Indonesia –red), banyak yang tidak mengerti kenapa saya mau jadi dosen, kerjaan yang gajinya kecil. Kakak saya bilang, “Kamu menyia-nyiakan talenta kamu.” Waktu itu saya ditawari studi lanjut di Bangkok, tapi saya tidak mau. Saya tahu, dosa paling besar yang saya miliki adalah kesombongan. Saya lulusan paling cepat di Fakultas Teknik UI untuk generasi saya. Padahal, saya sangat aktif di Perkantas. Secara manusiawi, saya tergoda untuk sombong, apalagi jika tawaran kuliah di Bangkok itu saya terima. Dosa inilah yang saya sadari waktu saya bertobat. Saya mesti lawan itu. Makanya saya memilih bekerja di UKI. Kalau bekerja di perusahaan, saya akan kompromi.

Pergumulan selanjutnya?

Ketika bekerja di UKI, saya mendapat beasiswa ke Selandia Baru untuk mengambil master dan doktor sekaligus. Selesai dari sana, saya kembali ke UKI. Tetapi waktu baru pulang, saya cuma disuruh ngurusi absensi mahasiswa oleh ketua jurusan. Waktu pekerjaan itu saya bawa pulang ke rumah, kakak meledek, “Kamu ambisius amat jadi ketua jurusan, sampai mau mengurusi absen.” Yah, lagi-lagi disalahkan. Saya mesti taat, kan, pada atasan saya, meskipun gelarnya masih insinyur?

Cemoohan itu juga datang dari kawan-kawan dekat. Mereka bilang, saya nggak bakalan bisa beli buku karena gaji saya kecil. Atau mencela saya dengan alasan yang “rohani”. Katanya, sebagai doktor saya harus mengembangkan talenta yang Tuhan berikan. Tapi untuk itupun harus saya doakan. Tidak mungkin Tuhan menyuruh kita memuliakan Dia dengan cara yang berdosa. Soal itu pasti bisa dilakukanNya dengan cara yang benar.

Dulu, teman-teman di UKI juga sering meledek, “Wah kamu cuma pintar di kampus. Nggak berani di proyek. Di sana tuh tantangannya nyata. Karena nggak berani makanya kamu kabur ke perguruan tinggi.” Wah, interpretasinya macam-macam. Nggak ada yang mau terima, bahwa saya cuma mau taat sama Tuhan.

Tapi kebenaran itu sendiri akan semakin terlihat bukan? Atas anugerah Tuhan saya dipercaya untuk memimpin perusahaan. Tapi, saya tidak pernah terima proyek yang pake sogok. Kalau tidak dapat ya sudah, nggak apa-apa. Toh saya masih bisa hidup.

Apa berarti kita harus pasif?

Oh tidak. Kita harus tetap dinamis. Kalau mau taat kepada Tuhan, jangan kita kompromi. Nah, dengan tidak berkompromi sendiri sudah menerapkan nilai minus di mata orang lain. Untuk menutupi nilai yang minus itu, kita harus memiliki kualitas. Lebih terampil dari yang lain. Dalam bisnis, kalau tidak nyogok berarti kan (peluang) untuk mendapat proyek berkurang. Maka untuk mengisi yang kurang ini mesti lebih profesional. Dalam bekerja mesti bisa dipercaya, tepat waktu. Hasil pekerjaan kita tidak asal jadi. Nilai plus ini untuk mengimbangi nilai minus oleh karena dia mau taat sama Tuhan. Selain profesional, dia juga harus dinamis, bekerja keras, dan senang belajar untuk mengembangkan keahliannya. Tapi dinamis di sini bukanlah ambisius.

Bagaimana dengan mereka yang kemampuannya terbatas?

Untuk menjadi berkat bagi orang lain, tidak mesti jadi ahli. Lakukanlah bagian kita dengan sebaik-baiknya di bidang masing-masing. Saya kenal seorang pegawai negeri yang bekerja di Aceh. Dia sangat jujur. Kerjanya pun baik sekali. Karena kejujurannya, orang sering berpikir dia tidak bakal dipromosikan. Suatu kali ada pimpinan baru yang mencari pegawai untuk mengisi posisi tertentu. Bos ini memilih dia karena kejujurannya. Mengapa? Karena ia perlu orang yang bisa dipercaya. Orang Kristen ini bussinesman, atau perusahaan. Dalam statusnya sebagai pegawai seperti dia juga seorang pelayan mandiri. Merekalah para pelayan mandiri ini.

Kenapa tugas itu harus dilakukan seorang pelayan mandiri? Bukankah semua orang Kristen harus hidup benar?

Dahulu memang hal ini bisa diwujudkan. Tetapi sudah berabad-abad diterlantarkan. Saya pikir ini mulai terjadi pada abad ke-19. Pada abad ke-18 nilai-nilai kekristenan masih kuat sekali. Di Barat, iman Kristen menyatu dengan seluruh kehidupan masyarakatnya. Negara Barat bisa maju karena hal itu. Negara-negara seperti Inggris, Jerman, Amerika, berpatokan sepenuhnya pada ajaran Kristen. Makanya terjadi revolusi industri. Perbudakan dihapuskan, dan kesejahteraan masyarakat diutamakan. Tetapi di abad ke-19 saat masuknya ilmu pengetahuan dengan gencar, dunia Barat mulai goncang. Banyak pengetahuan baru yang masuk dan tidak ada orang Kristen yang bisa menjawab persoalan-persoalan yang ditimbulkannya.

Apakah penggunaan sebutan ini tidak rancu, sehingga siapa pun bisa menyebut dirinya pelayan mandiri?

Saya cenderung memakai konsep pelayan mandiri dalam pengertian luas dengan sebutan orang Kristen fulltime. Sistematikanya demikian: pada dasarnya kita semua adalah orang-orang berdosa yang menjadi hamba dosa. Ketika kita bertobat dan menerima Kristus, kita menjadi manusia baru sebagai hamba kebenaran. Dengan demikian kita adalah orang Kristen fulltime, yang mengacu pada 2 Korintus 5:15, “… mereka tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan dibangkitkan….” Orang Kristen fulltime ini dibagi dua, yakni Pekerja Rohani Fulltime dan Pekerja Sekuler. Dua-duanya tentu mempunyai standar hidup yang sama sebagai orang Kristen fulltime. Para Pekerja Rohani, ada yang bekerja dengan biaya dari lembaga mereka antara lain pendeta, penginjil, pembina rohani—maupun yang bekerja dengan biaya mandiri. Sedangkan pada pekerja sekuler, yakni mereka yang mempunyai profesi seperti dokter, pengusaha, dll. Ada yang terlibat dalam pelayanan firman Tuhan dan pembinaan, ada juga yang hanya sebatas menjadi pengurus di persekutuan, dan ada yang tidak terlibat sama sekali.

Nah. yang masuk dalam kategori pelayan mandiri adalah pekerja rohani dengan biaya mandiri dan pekerja sekuler yang melayani secara langsung dalam pelayanan firman dan pembinaan. Tugas-tugas pembinaan ini dilakukan profesi lain (bukan penginjil) untuk mengisi bagian-bagian yang tidak terjangkau oleh tugas penginjilan.

Bukankah penginjilan dan pembinaan merupakan kesatuan? Setelah menginjili seharusnya kita melakukan tindak lanjut melalui pembinaan, bukan?

Seharusnya memang demikian. Tapi yang terjadi tidak begitu. Kenapa? Pertama, mereka sebetulnya mau membina, tapi tidak tinggal di sana lagi karena dipindahkan ke tempat lain. Kedua, belum tentu mereka cocok melakukan pembinaan karena mereka tidak memahami kehidupan sehari-hari orang yang diinjili. Mereka tidak mengerti di mana letak penyimpangan yang sering dilakukan orang-orang itu dalam profesinya.

Ada seorang pendeta yang tidak tahu bahwa kalau membangun gereja harus punya IMB. Dia pikir, tidak punya IMB tidak melanggar hukum. Ini satu contoh saja, bagaimana seorang hamba Tuhan fulltime tidak bisa memahami masalah yang dihadapi jemaatnya. Akibatnya, kalau dia disuruh membina paling yang bisa dia bilang adalah, “Jangan mencuri, jangan membunuh,” itu saja. Tapi dosa-dosa yang tidak “nyata”, yang “tidak tertera” dalam sepuluh perintah Allah, seperti korupsi, kolusi, manipulasi data, membuat buku ganda, dia’tidak tahu seluk-beluknya.

Dulu, kaum awam mendengar langsung berbagai pengajaran dari pengkhotbah ulung seperti Martin Luther, Johannes Calvin, dan membaca buku-buku mereka. Tetapi mereka sangat tergantung pada para penghotbah ini. Karena waktu itu pendidikan belum merata, mereka belum bisa melakukan PA sendiri seperti sekarang.

Sekarang, tepatnya 30 tahun terakhir, merupakan masa keemasan bagi orang percaya. Pendidikan relatif telah merata, orang-orang Kristen sudah bisa membaca Alkitab dan melakukan PA sendiri. Dari sini lahir para pelayan mandiri. Mereka bukan penginjil. Mereka adalah orang-orang profesional yang mengerti teologia dengan baik. Mereka mengerti doktrin keselamatan yang benar, hidup Kristen yang benar, dan yang melaksanakannya. Orang seperti inilah yang mengerti dengan jelas pergumulan melawan dosa-dosa dalam profesi mereka.

Misalnya?

Banyak! Kalau ngurus KTP atau SIM, biasanya kita harus nyogok kan? Jadi kalau tidak nyogok bisa nggak? Bisa! Cuma akan lama jadinya. Nah, rela tidak kita menunggu? Harus dong. Sambil menunggu kita bisa membaca buku. Kita juga harus siap dipermainkan. Kalau mau taat, harus siap dicemooh. Yesus saja dicemooh. Untuk itu kita harus rendah hati. Tunggu saja di kantor itu sampai petugasnya capek sendiri, Jangan pake jasa calo, karena mereka pun nyogok dan merusak masyarakat. Kita akhirnya jadi tidak berfungsi sebagai garam dunia, malah ikut berdosa bersama-sama dengan mereka. Bagaimana kita harus memberi alasan bahwa tidak mau nyogok? Katakan bahwa Tuhan saya melarang. Begitu.

Lalu Anda keberatan kalau harus menunggu lama, karena bisa mengganggu pekerjaan di kantor? Kenapa tidak ambil cuti saja? Takut berkurang jatah cutinya? Kenapa harus takut kalau mau taat kepada Allah? Tuhan kita mati di kayu salib demi dosa kita. Masa kita tidak rela berkorban?

Coba Anda bayangkan ketika mengurus paspor di kantor imigrasi, kan harus antre tuh. Tiba-tiba, datang satu orang dari biro travel yang membawa setumpuk map. Si petugas imigrasi itu langsung mengerjakan berkas-berkas dari biro travel tersebut, sementara (berkas) Anda yang sudah menunggu belum diproses. Sakit hati nggak? Ini yang namanya kesenjangan sosial. Kemarahan rakyat banyak terjadi pada mereka yang punya uang karena mereka menyalahgunakan uangnya untuk “menindas” yang tidak punya uang.

Boleh dibilang, peran”kaum awam”sebagai pelayan mandiri sangat strategis. Sejauh mana keberadaan mereka saat ini di Indonesia?

Kita baru mulai menggalakkannya. Tapi saya optimis pelayanan ini akan berkembang, dengan berkat Tuhan tentunya. Jika para kaum awam ini belajar firman Tuhan dengan baik dan tahu yang benar dan salah, mereka bisa menolong orang lain yang menggumuli hal-hal yang tidak dinyatakan dengan jelas dalam Alkitab.

Misalnya etika pekerjaan. Para dokter Kristen bisa dengan tegas mengatakan hal-hal yang salah mengenai masalah aborsi, euthanasia, dll, karena dokter Kristen lah yang bisa mengerti masalah ini, bukan para pendeta. Si dokter ini tahu persis, bahwa menggugurkan kandungan adalah membunuh, karena pertemuan antara sperma dan sel telur sudah membuahkan makhluk hidup. Dan, hanya orang-orang medis lah yang tahu alat kontrasepsi apa saja yang bisa dikategorikan “membunuh” janin. Tidak salah melibatkan pendeta dalam hal ini, tapi akan kurang dampaknya karena mereka kurang mengerti isunya.

Kalau nantinya mereka berperan cukup aktif, apakah bisa menggantikan peran pendeta atau pekerja rohani fulltime?

Pendeta dan pekerja rohani fulltime tetap di “tempatnya” dong. Bukan berarti kalau pelayanan mandiri berkembang pendeta nggak diperlukan. Semua sudah ada bagiannya masing-masing, dan tugas mereka adalah mengerjakan bagian yang belum dikerjakan oleh para pendeta atau pekerja rohani fulltime. Kita tidak bisa mengambil alih peran mereka. Kalau para pendeta dan fulltimer tidak lagi berperan, siapa yang menangani pembinaan anak-anak, para remaja dan pemuda, dan keluarga, perkawinan, dll? Itu kan tugas pendeta untuk menggembalakan jemaat sebagai manusia yang utuh dan dalam kehidupan bergereja?

Peran pelayan mandiri lebih banyak dilakukan di dunia kerja atau profesi. Visi mereka adalah mengubah citra orang Kristen yang bekerja. Mereka tidak lagi kompromi, tetap taat dalam profesinya. Ini bidang yang belum disentuh dengan baik, karena para pekerja rohani fulltime (pendeta/penginjil) kurang memahami pekerjaan praktis, seperti soal tender atau sogok-menyogok.

Sepanjang melakukan pelayanan mandiri, pergumulan apa saja yang Bapak alami?

Pertama, dalam mengatur waktu dan konsentrasi. Pikiran saya harus bisa membagi dua hal yang saling bertolak belakang, bidang teknik sipil dan pelayanan firman. Seringkali untuk mempersiapkan eksposisi atau ceramah, nggak banyak tuh waktunya. Saya tidak bisa mempersiapkan pelayanan di kantor, karena butuh tempat yang tenang.

Dalam pekerjaan, saya harus belajar sendiri karena bidang yang saya garap sekarang ini masih baru dan sangat spesifik. Untuk mempelajari alat-alat yang baru saya harus lakukan di rumah. Kalau di kantor saya tidak akan konsentrasi. Padahal di rumah pun masih harus menyediakan waktu untuk keluarga dan pelayanan. Makanya saya hanya punya waktu untuk pelayanan seminggu sekali. Kalau tidak terlalu penting saya jarang menerima pelayanan lebih dari satu kali dalam seminggu. Kalau mereka tanya, “Kok nggak bisa, Pak?” Saya bilang, “Saya tuh orang kerja, pulang ke rumah sudah malam.”

Bagaimana para alumni Kristen dapat menghayati perannya sebagai pelayan mandiri? Ciri apa yang harus ada pada mereka?

Mereka adalah orang yang mengutamakan kebenaran firman Tuhan dan menaatinya di mana pun berada, dan dalam kondisi apa pun. Mereka memang akan jatuh bangun, tetapi mau kembali. Mereka sadar risikonya taat kepada Tuhan. Seorang manajer tidak bisa berkata, “Saya tidak bisa berlaku jujur sekarang. Nanti saja setelah jadi direktur. Itu bukan sikap seorang pelayan mandiri. Setelah jadi direktur, pergumulannya tentu lebih berat. Kalau mau taat pada Tuhan, jangan tunggu sampai sudah mapan. Kalau sudah terbiasa tidak jujur, akan sulit berhenti. Justru dari awal dia harus memikirkan strategi sebaik mungkin untuk menang dari godaan berbuat dosa. Untuk itu, dia harus ngotot punya keinginan yang kuat untuk taat. Jangan pernah putus asa. Kalau banyak hambatan, teruslah berdoa supaya Tuhan menguatkan kita. Kemudian, siap menerima risiko, misalnya nggak dapat proyek, nggak naik pangkat, dikucilkan, atau malah dikeluarkan. (em)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Satu pemikiran di “ “Kalau Mau Taat, Jangan Tunggu Sampai Mapan””