Esther Widhi Andangsari:
“Perempuan itu Cenderung Ngemong”

Pertengahan Maret yang lalu, Majalah Dia menyambangi Esther Widhi Andangsari, M. Psi., Psi di kantornya untuk sedikit berbincang mengenai topik kita kali ini, yakni posisi dan peranan wanita dalam tatanan sosial-politik kita. Saat ini, beliau menjabat sebagai Kepala Laboratorium Psikologi Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Bagaimana pandangannya mengenai posisi dan peran wanita dalam masyarakat kita? Simak hasil perbincangan Majalah Dia (MD) dengan Esther Widhi (EW) berikut ini.

MD: Bagaimana Anda melihat posisi perempuan di Indonesia sekarang ini?

EW: Aku sih melihatnya lebih baik ya daripada zaman dulu, mungkin zaman mantan Presiden Soeharto, dimana ada posisi-posisi tertentu yang dilarang diisi oleh perempuan. Menurutku, justru perempuan di Indonesia saat ini mendingan lho, apalagi kalau dibandingkan negara lain, misalnya di Malaysia. Sewaktu ngobrol-ngobrol dengan teman-teman asal Indonesia yang tinggal di sana, mereka bilang di sini posisi perempuan secara sosial lebih mendingan. Apalagi dibandingkan dengan negara-negara yang bahkan perempuan tidak boleh sekolah atau menyetir mobil.

Indonesia mendingan, karena kita pernah punya Presiden seorang perempuan. Selain itu juga ada perempuan yang menduduki posisi bergengsi seperti Dirut Pertamina misalnya. Kemudian, ada kesadaran negara untuk memberlakukan kuota perempuan di DPR. Menurutku, itu hal yang menggembirakan. Guru perempuan lumayan banyak, kepala sekolah juga, dosen apalagi. Bahkan, kalau aku membimbing skripsi atau mengadakan penelitian, aku mendapati jumlah perempuan yang bekerja semakin banyak. Data statisik di BPS juga begitu. Artinya, secara kehidupan sosial masyarakat di indonesia, perempuan sudah mendapat tempat.

Aku kan “roker” alias rombongan kereta. Tiap kali naik commuterline di jam-jam kerja, aku melihat banyak sekali perempuan dengan pakaian pekerja kantoran. Rieke yang kemarin mencalonkan diri sebagai Gubernur Jabar, meskipun gagal tapi kan mendapat suara terbanyak kedua. Itu berarti Rieke-nya sebagai perempuan berani mengajukan diri, partainya mau mengusung, dan masyarakatnya juga mendukung, terlepas dari pasangannya, Teten Masduki, yang dikenal integritasnya lumayan. Masyarakat terutama di perkotaan sudah mulai sadar bahwa kita tidak bisa lagi membedakan perempuan atau laki-laki untuk posisi tertentu.

Sedangkan di daerah pedesaan atau perkampungan, mungkin kita perlu telusuri lebih jauh, karena ada konsepsi kultur, penghargaan kepada laki-laki masih lebih tinggi. Tapi kalau kita diskusikan lebih lanjut, kalau dipikir-pikir ya, sebenarnya penghargaan secara budaya terhadap perempuan itu lumayan juga lho. Salah satunya tradisi suamiku yang berasal dari kultur Karo, justru mereka sangat segan dengan keluarga dari pihak perempuan, meskipun menggunakan sistem kekeluargaan dari laki-laki/patrilineal. Mereka menyebut pihak keluarga istri dengan sebutan Kalimbubu. Kalimbubu itu posisi yang dihormati.

Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada berita mengenai pelecehan seksual atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang korbannya mayoritas perempuan. Itu memang sisi buruk dari kehidupan perempuan di Indonesia. Lalu bagaimana TKI diperlakukan di negara orang lain. Itu memang terjadi di negara lain, tapi bagaimana petugas di sini mempersiapkan mereka supaya jangan sampai diperlakukan buruk di sana. Kalau ada hal-hal buruk yang terjadi pada perempuan, menurutku sih, kita juga harus fair bahwa tidak hanya di Indonesia yang begitu. Di luar negeri juga banyak, di India bahkan lebih parah. Mahasiswa kami yang kemarin diperkosa lalu dibunuh di angkutan umum itu kan lantas orang jadi tertarik dan sangat peduli, kemudian aparat kan bertindak cepat dan langsung menangkap pelakunya. Itu menurutku menunjukkan negara berusaha juga untuk melindungi perempuan. Kitanya jangan terlalu pesimis.

MD: Apa sih yang membuat masyarakat masih memandang perempuan sebelah mata?

EW: Aku coba sorot tentang bagaimana pola asuh dalam keluarga. Sebetulnya itu yang sangat inti dalam negara, karena keluarga kan tiang negara. Kalau keluarganya berantakan, negaranya pasti juga berantakan. Menurutku, yang membuat masyarakat mungkin tidak terlalu benar memperlakukan perempuan dan bagaimana perempuan mematutkan dirinya supaya dihormati orang, ya interaksi di keluarga. Contohnya KDRT. KDRT itu kebanyakan terjadi karena memang pola asuh sebelumnya begitu, jadi ayahnya dengan sangat vulgar meng-“KDRT” istrinya di depan anak-anaknya tanpa ada penjelasan. Perilaku itu lebih kuat pesannya daripada perkataan, sehingga anak akan berpikir bahwa itu perilaku yang pantas untuk dilakukan di kemudian hari. Contoh lain, bagaimana keluarga terlalu membedakan laki-laki dan perempuan. Kultur kita sebenarnya baik, tapi mungkin penafsiran dan penerapan kulturnya yang salah, misalnya laki-laki tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah. Di kebanyakan keluarga kita, perbuatan yang bagus jarang sekali dipuji, sedangkan perbuatan yang buruk akan segera dicela. Tingkat penghargaan terhadap prestasi antara anak laki-laki dengan anak perempuan juga kadang sangat dibedakan.

MD: Ada yang mengatakan bahwa perempuan lebih bisa menalar karena memiliki emotional intelligence yang lebih kuat. Benarkah demikian?

EW: Memang sih ada yang bilang rasional lebih banyak dipakai oleh pria, sementara sisi afeksi atau emosional lebih banyak dipakai wanita. Tetapi ada juga pandangan yang mengatakan bahwa manusia tidak bisa hanya mengandalkan salah satu, melainkan keduanya harus berjalan bersama. Cuma memang betul sih, banyak studi eksperimenter yang menyimpulkan bahwa terlihat sekali perilaku pria sangat dikendalikan oleh rasionalitasnya dalam pengambilan keputusan, sementara perempuan lebih banyak di emosionalnya. Lihat saja, kalau ada masalah kan perempuan cenderung ingin curhat lebih dulu, baru memikirkan solusinya. Sementara laki-laki tidak menganggap curhat itu penting, tapi solusinya yang lebih penting. Makanya laki-laki lebih banyak diam dan perempuan lebih banyak “ribut.” Tapi ya, desainnya Tuhan kan begitu. Itu juga tidak bisa disalahkan. Jadinya malah indah kalau dipikir-pikir.

MD: Dengan kebebasan yang diberikan lewat Otonomi Daerah, tiap Pemerintah Daerah mengeluarkan Perda-perda yang beberapa diantaranya justru seperti mengekang perempuan, seperti larangan untuk keluar rumah setelah jam dua belas malam atau larangan membonceng menghadap ke depan bagi perempuan. Ada pendapat soal ini?

EW: Waktu tahu ada Perda-perda seperti itu, rasanya geli. Mungkin maksudnya ingin melindungi, tapi kok jadinya malah mengerangkeng tidak karu-karuan dan membuat nilai bahwa perempuan itu hanya serendah itu. Hanya dibuatkan aturan seperti itu lalu akan selamat. Aku sebagai orang psikologi melihat kesejahteraan psikologis perempuan benar-benar tidak terpenuhi. Itu kan kenapa harus itu yang dipikirkan? Kenapa ke situ arahnya? Yang membuat Perda juga tidak beres cara berpikirnya menurutku.

MD: Tapi pada waktu diwawancara di televisi, ada juga beberapa warga perempuan yang setuju.

EW: Aku yakin pasti ada yang akan setuju. Karena kebanyakan orang lebih peduli terhadap ritual daripada spiritual. Yang penting doa tiga kali sehari daripada menghayati apa yang didoakan. Semua hanya ritual saja, tapi esensinya tidak ada. Sebenarnya juga kalau tidak di-Perda-kan, orang juga tahu kok. Misalnya, ngapain sih keluar jam dua belas malam kalau tidak ada keperluan yang sangat penting? Jadinya malah menunggu ada aturan resmi baru bisa bertingkah laku. Membonceng dengan duduk menyamping justru risikonya lebih besar, karena susah menjaga keseimbangan. Aku pernah dibonceng menyamping, jalannya malah oleng, akhirnya yang memboncengkan justru memintaku gantian duduk di depan.

MD: Bagaimana tentang pejabat publik atau orang yang justru menuduh korban “mengundang” terjadinya pelecehan karena cara berpakaian yang tidak pantas?

EW: Menurutku, masyarakat kita terlalu cepat mengalihkan isu. Isu utamanya kan ada kejadian kekerasan seksual, kenapa dibelokkan dengan mem-victim-kan kembali si korban? Itu yang menurutku kebiasaan negara atau masyarakat untuk mengalihkan isu. Wong pemerintahnya hobi kok mengalihkan isu. Apalagi yang bicara figur publik.

Jika memang benar perempuan punya andil, berapa persen sih andilnya? Artinya, apakah ada korelasi secara ilmiah, gara-gara pakaian seksi lantas pelakunya terangsang? Masak sih gara-gara pakaian doang? Atau pikiran pelakunya yang memang jorok? Menurutku sih, variabelnya tidak langsung. Sudah salah kaprah, menurutku. Di Spanyol, misalnya, atau di negara-negara lain yang pakaian perempuannya lebih sweksi, tingkat pemerkosaannya justru rendah sekali. Di sini ada kasus pemerkosaan yang korbannya justru memakai jilbab lho. Dilecehkan juga tuh. Memang kebiasaan mereka mengalihkan isu. Padahal mereka pemimpin negara. Mbok ya ada sedikit empatinya. Bagaimana kita mau mencetak pemikiran yang lebih fokus pada persoalan inti, bukan luarnya saja. Juga pemikiran yang tiga dimensi, alias menyeluruh. Empatinya tidak jalan tapi jadi pemimpin.

MD: Apa yang membuat kebanyakan perempuan masuk ke bidang-bidang sosial atau pendidikan, dan enggan masuk ke dunia politik?

EW: Kalau dilihat dari ciri khas, salah satu pengaruhnya menurutku adalah perempuan itu cenderung nurturing atau ngemong, sehingga cukup banyak bidang pekerjaan yang dilirik adalah yang menuntut nurturing yang kuat. Jadi kalau ada perempuan yang memberanikan diri masuk ke dunia politik, itu berarti selain nurturing, dia punya power yang lebih. Dan, kemungkinan besar perempuan bisa begitu karena social support-nya bagus, entah dari suami, keluarga, atau perkumpulan yang sering dihadiri. Bisa jadi juga karena ia ingin fokus lebih memperhatikan keluarga. Ditambah lagi, politik di media diperlihatkan dengan gambaran yang tidak bagus, oportunis, makan teman, tidak berpihak pada yang membutuhkan. Buat perempuan, itu sudah melawan sifat nurturing-nya. Maka, sebagai orang-orang yang kuat nurture-nya, perempuan cenderung melindungi yang bisa dia lindungi saja. Yang sudah di luar jangkauan akan dibiarkan saja.

MD: Padahal kalau perempuan bisa jadi anggota dewan, pasti akan lebih nurture konstituennya kan?

EW: Betul, mungkin perlu ada pengaderan. Tapi faktor panggilan hidup juga perlu dipertimbangkan. Ketika negara memang memberikan kesempatan, memang seharusnya diisi. Jangan sampai yang mengisi malah orang-orang tidak jelas yang oportunis. Tapi aku juga tidak setuju kalau kita membentuk partai lagi. Harusnya kita kan penetrasi saja ke parpol-parpol yang ada.

MD: Bagaimana Alkitab mengajarkan kepada kita tentang perempuan?

EW: Kalau kita mau telaah tokoh seperti Ester misalnya, dia cerdas dan berani, terutama di adegan di mana dia menghadap raja tanpa dipanggil.Tentu itu atas prakarsa Mordekhai ya. Menurutku dia contoh orang yang memberanikan diri masuk ke sesuatu yang bagi banyak perempuan untouchable, karena dia jelas apa yang mau diperjuangkan.Kalau di Perjanjian Baru, aku banyak belajar dari Efesus, bagaimana suami harus mengasihi istri dan seterusnya. Di Alkitab sebetulnya jelas sekali ditegaskan bahwa tidak pernah sedikitpun Alkitab menganggap perempuan itu posisinya nomor dua.
MD: Bagaimana dengan wanita yang bekerja di masa kini?

EW: Di satu sisi, positifnya adalah bahwa posisi perempuan diakui. Tapi di sisi lain juga ada yang kebablasan. Cukup banyak perempuan yang tidak bersepakat dengan panggilan luhurnya. Kalaupun dia bekerja, tetap harus ada kesepakatan dengan orang di rumah. Cukup banyak perceraian terjadi. Angka perceraian di Indonesia makin tinggi, bahkan tertinggi se-Asia Pasifik, sekitar 200 ribu kasus per tahun. Alasannya macam-macam. Dalam studi yang sempat kami lakukan, salah satunya alasan finansial. Gaji suami lebih rendah daripada istri, misalnya. Alasan lain, istri tidak dibiarkan untuk bekerja, jadi menuntut untuk bisa bekerja, ingin punya kemandirian finansial, dan sebagainya. Justru alasan adanya orang ketiga tidak banyak lho. Itu artis saja yang gembar-gembor alasannya seperti itu.

MD: Kalau alasan perceraian karena KDRT banyak juga?

EW: Banyak juga. Aku kan juga mengamati tentang KDRT dan itu memprihatinkan. Itu sebenarnya agak membingungkan juga. Perempuan semakin bagus posisinya, tapi tingkat KDRT tidak berkurang juga. KDRT sendiri kasusnya juga banyak. Kalaupun wanita bekerja, sebenarnya kuncinya adalah kesepakatan dengan pasangan atau keluarganya. Memang agak susah kalau ingin mengejar dua-duanya sih.

MD: Kebanyakan keluarga sekarang ini mempekerjakan pengasuh bayi karena kedua orang tuanya bekerja. Bagaimana hal itu memengaruhi perkembangan anak?

EW: Memang anak-anak yang pada masa kecilnya lebih banyak diasuh oleh pengasuh dan bukan orang tuanya sendiri, emosinya ketika besar tidak terlalu bagus. Ada dua tipe: yang pertama ingin semua keinginannya dituruti, yang kedua justru tidak berani bersuara.

Mengurus anak itu bukan tugas perempuan saja, walaupun nurture-nya ada di ibu. Harus dua-duanya, karena secara psikologis anak itu sehat ketika dia melihat peran ayah dan peran ibu secara bersamaan. Bukan salah satu dihilangkan atau salah satu diunggulkan. Jadi kalau perempuan ingin bekerja, harus ada kesepakatan dengan suami untuk pembagian waktu dan peran di rumah. Contohnya aku dan suamiku, yang banyak di kantor aku, sedangkan suamiku justru lebih banyak di rumah. Ini masalah komunikasi. Nah, perceraian itu kebanyakan terjadi karena masalah komunikasi, selain finansial tadi.

Kalau aku sekarang tidak hanya concern dengan KDRT tapi juga KDP, alias Kekerasan Dalam Pacaran. Kebanyakan korban kekerasan dalam pacaran yang masih tetap berhubungan ternyata sudah terlanjur melakukan hubungan intim dengan pasangannya. Kalau bukan itu, yang paling memungkinkan adalah bentuk kekerasan itu dianggap bukan kekerasan lagi karena saking kerapnya muncul. Misalnya, ketika pacaran dimaki-maki, itu dianggap bukan kekerasan (verbal) lagi.

Generasi sekarang itu generasi yang sudah terbiasa dengan perilaku-perilaku kekerasan. Sehingga tidak sensitif lagi ketika orang lain butuh pertolongan dan sebagainya. Makanya, orang tua yang punya anak perempuan, didiklah mereka menjadi perempuan yang tangguh tapi tidak kehilangan jati dirinya sebagai seorang perempuan. Desainnya Tuhan kan begitu ya, perempuan lebih kuat pada nurturingnya. Caranya bagaimana? Ya jadilah orang tua yang sesuai panggilan itu. Jadilah ayah yang bisa memberikan nasehat atau pandangan yang menyeluruh dan jadilah ibu yang penyayang. Maksudnya bukan penyayang yang suka memanjakan anak-anaknya dengan materi sebagai kompensasi rasa bersalah karena sering meninggalkan anak-anaknya ya.

Tantangan orang tua zaman ini makin besar. Aku sering diskusi dengan suamiku soal anak-anak kami yang masih kecil dan kebetulan keduanya perempuan, lima belas tahun lagi, apa yang akan terjadi ketika mereka dewasa? Apa yang akan jadi bekal mereka kelak? Jadi jago bahasa Inggris atau Matematika saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain. Maksudnya, akal budi, takut akan Tuhan, menghargai manusia, kebaikan hati.

MD: Ada pesan untuk (khususnya mahasiswa) perempuan?

EW: Berlakulah seperti perempuan yang terhormat. Optimalkan sifat nurturing tapi jangan sampai menjadi perempuan yang lembek. Karena perempuan yang tangguh akan menjadi cerminan bagi anak-anaknya kemudian. Anak-anak akan bisa lihat perempuan tangguh yang penyayang itu justru dari ibunya, bukan dari orang lain. Itu sangat sesuai dengan panggilan bagi perempuan yang ada di dalam Alkitab. Pilihlah pasangan hidup yang benar, yang baik, sehingga bisa bersepakat dengan pasangannya nantinya bagaimana mereka akan membentuk keluarga. Harus punya konsep diri yang kuat, sehingga tidak akan berpasangan dengan orang yang “aneh.” (ays)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *