Dr. Fred Rumawas, dosen Fakultas Pascasarjana (52 dan 33) dan Sarjana Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak 1961. Bapak yang dilahirkan 28 Februari 1938 ini, lulus dari Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (IPB – sekarang), kemudian melanjutkan ke Universitas Kentucky dan meraih gelar Master of Science (1963), sedangkan gelar agronomy diraihnya di Purdue University, Indiana, Amerika Serikat.
Bapak asli Manado ini ‘menciptakan’ tumbuhan jagung manis, legum (pengikat nitrogen) ketela, dan jeruk manis jenis baru. Selain itu, ia juga aktif di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Perguruan Tinggi (Dikti) bidang Penelitian, ikut melakukan penelitian di daerah transmigrasi, terlibat di Badan Pengkajian Pengembangan Teknologi (BPPT) dalam penelitian pertanian di Timor – Irian Jaya, dan menjadi editor buku “Plant Resources of South East Asia” (PROSEA).
Anggota jemaat Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB), Fred Rumawas sangat familier dengan para mahasiswa. Kehidupan sehari-harinya sangat sederhana. Ia menikah dengan Agnes M. Melawati (1966) dan dikaruniai dua orang anak. Bagaimana pendapatnya mengenai teknologi di Indonesia? Bagaimana ia menerapkan imannya dalam penelitian dan penemuannya? Bagaimana ilmuan Kristen seharusnya bersikap dalam melakukan Penelitian?
Simak wawancara Dia dengan Dr. Fred Rumawas di bawah ini:
Teknologi saat ini berkembang dengan pesat. Di satu sisi ini baik, di sisi lain memprihatinkan banyak orang. Bagaimana pandangan Bapak?
Teknologi itu bersifat netral. Nilai teknologi sangat bergantung pada siapa pemakainya. Bila diisi dengan nilai yang salah, maka hasilnya pun negatif. Sebaliknya, bila diisi dengan nilai yang baik dan tepat, maka hasilnya pun positif.
Selama ini banyak orang menganggap teknologi mempunyai moral. Itu salah besar! Teknologi tidak memiliki nilai. Kita lah yang harus memberi nilainya. Tanggung jawab ada pada manusia, bukan pada teknologi.
Kita sering menyalahkan teknologi yang digunakan. Ini salah kaprah namanya. Ini yang jarang diangkat dan dibahas. Siapa yang menggunakannya, dialah yang memberi nilai. Pisau contohnya dibuat sebagai alat pemotong, tapi pisau juga bisa digunakan sebagai alat membunuh. Begitu pula dengan teknologi lainnya, akan bernilai baik bila nilai diberikan dengan baik.
Memang ada unsur negatif yang ditimbulkan oleh teknologi. Plastik sebagai hasil teknologi, misalnya. Plastik itu sangat berguna dalam kehidupan manusia. Tapi bila plastik sudah menjadi limbah, maka ia bisa menjadi negatif. Sampah plastik menjadi negatif karena kita tidak tahu bagaimana memanfaatkannya. Selama manusia dapat mendaur ulang limbah teknologi, selama itu hasilnya positif.
Bila sangat tergantung pada moral masyarakat, bagaimana bisa memberikan nilai yang sama, sedangkan masyarakat Indonesia begitu majemuk?
Kita tidak perlu melihat moral orang lain. Lihat dulu bagaimana moral kita sebagai umat Kristiani memberikan nilai pada teknologi. Bagaimana kita menginterpretasikan teknologi dalam kehidupan kita? Kita harus kembali pada Kitab yang menjadi dasar hidup umat Kristiani. Tugas kita adalah mempengaruhi. Lakukanlah! Sehingga nilai teknologi yang ada berdampak positif.
Sekarang ini yang sangat berkembang di masyarakat adalah teknologi robot, komputer, media, dan rekayasa genetika. Apakah teknologi tersebut sesuai dikembangkan di Indonesia?
Kita harus melihat teknologi itu dari fungsinya di masyarakat. Bila dampaknya baik, maka teknologi tersebut baik. Robot misalnya, bila sampai menutup pekerjaan orang lain, itu tidak baik. Tapi kalau robot mengambil alih pekerjaan yang bila dilakukan oleh manusia mengancam nyawa mereka, maka ia berfungsi baik. Sebaliknya, pekerjaan yang layak dilakukan oleh manusia lebih baik dikerjakan oleh manusia. Di Eropa dan Jepang, teknologi robot menjadi kendala. Di sana banyak pekerjaan dikerjakan oleh robot. Akibatnya banyak manusia tidak bekerja tapi diberi tunjangan. Sepertinya itu baik. Tapi bagi orang di sana, menjadi masalah. Ini menyangkut martabat manusia.
Rekayasa genetik dan bayi tabung juga menimbulkan banyak masalah. Orang melakukan intervensi terhadap jenis manusia dan mengubah sifat tertentu yang alamiah. Seharusnya dunia dapat belajar dari negara RRC yang mengharuskan setiap keluarga memiliki seorang anak. Akibatnya banyak bayi perempuan dibunuh. Bila tidak salah, sekitar 1,4 juta bayi perempuan dibunuh setiap tahun. Suatu ketika, ketika laki-laki telah dewasa, maka mereka akan sulit mendapatkan istri. Ini menjadi masalah besar. Tindakan biologis yang nampaknya sekarang baik dapat mengakibatkan efek negatif di masyarakat. Kita memang belum sampai di sana.
Teknologi robotika, menurut Bapak, akan baik bila dipekerjakan dengan tepat. Tapi sekarang ini banyak demonstrasi buruh. Apakah itu juga tanda protes mereka terhadap diberlakukannya teknologi robot?
Pada tingkat upah tertentu, penggunaan robotika itu tidak menguntungkan. Robot akan sangat menguntungkan bila dipekerjakan pada pekerjaan yang tepat. Bahayanya, bila buruh memaksakan upah tinggi dan cepat naik. Sedangkan pengusaha tinggal menentukan pilihan: ganti buruh atau alih teknologi. Bila SDM terlalu menuntut – bahayanya – memungkinkan kehilangan pekerjaan. Seorang pengusaha memang harus memberikan upah layak. Namun bila dipaksa membayar upah tinggi, maka akan kehilangan keuntungan. Dari segi dagang, pengusaha pasti memilih teknologi yang lebih murah dan aman.
Jangan jauh-jauh. Teknologi alat-alat pertanian, misalnya. Bila dalam mengolah pertanian lebih murah menggunakan traktor daripada cangkul dan tenaga manusia, maka orang akan memilih traktor. Karena manusia itu sering berorientasi pada prinsip ekonomi. Pengusaha memang akan lebih senang menggunakan alat-alat. Mengapa? Karena alat-alat tidak rewel dan tidak banyak tuntutan. Bila rusak, dapat segera diganti.
Apakah para ilmuwan ketika ‘menciptakan’ teknologi mempertimbangkan efek sosialnya?
Itulah repotnya. Sebetulnya, secara genetika kita tidak jauh berbeda dengan nenek moyang kita pada zaman berburu dan mengumpulkan. Namun, karena perkembangan teknologi dan perubahan zaman yang cepat sekali, membuat manusia harus menyesuaikan diri dengan keadaan.
Perkembangan teknologi jauh lebih cepat dari perkembangan lainnya. Sosial, hukum, moral, budaya, dan sebagainya dapat menjadi terbelakang. Bayangkan saja makanan. Sangat jauh berubah. Dari makanan yang alamiah pada zaman berburu dan mengumpulkan, kemudian zaman bertani, dan zaman sekarang makanan diproses dan dikalengkan. Semua serba instan. Hal seperti ini memang dampaknya sangat panjang. Itu semua mungkin tidak terpikirkan oleh ilmuwan.
Melihat jumlah penduduk yang 185 juta dan keadaan alam Indonesia, apakah teknologi yang diterapkan sudah sesuai?
Belum. Banyak teknologi yang harus diubah. Pemakaian timah hitam dalam bensin, misalnya, harus dihapuskan. Dalam pengolahan limbah industri kita juga lemah. Banyak limbah yang masuk ke sungai-sungai. Itu terjadi kadang-kadang karena terdesak oleh kebutuhan penduduk. Sehingga teknologi yang diterapkan hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Banyak teknologi yang sebenarnya telah ditinggalkan di luar negeri, tapi diterapkan di Indonesia. Apakah itu untuk memperlihatkan bangsa kita telah maju?
Tidak. Itu terjadi lebih banyak karena keserakahan dan rasa ingin bersaing manusia. Peternakan babi di Singapura tidak boleh diteruskan karena kotorannya mencemarkan air. Peternakan ini diambil alih oleh Indonesia. Itu terjadi bukan karena kesombongan, melainkan keserakahan orang. Usaha itu memberi peluang dan untung besar.
Pernah dengar impor limbah? Kita mengimpor dari negara maju. Mengimpor limbah tersebut dibayar dengan harga tinggi. Mengapa kita mau? Itu karena keserakahan.
Lalu mengapa para pakar teknologi tidak ‘berteriak’?
Siapa bilang tidak berteriak? Karena berteriaklah, maka muncul peraturan-peraturan baru.
Sementara sumber daya alam belum dimaksimalkan. Namun kita sudah menerapkan teknologi canggih. Mengapa harus langsung ke penerapan teknologi canggih?
Kemajuan tidak bisa dihalangi. Kita juga tidak bisa hidup hanya dari segi pertanian. Kita harus mengembangkan tenaga jasa dan lainnya. Kita, seperti Alkitab tuliskan, tidak hanya hidup dari roti. Juga harus mengembangkan usaha di bidang sekunder lainnya. Pertanian juga mempunyai batas kemampuan menampung dan menghasilkan.
Ada orang ingin langsung melompat ke teknologi canggih. Sementara lainnya menginginkan dari bawah. Bagaimana sebaiknya, Pak?
Ini memang perlu kejelian. Jangan lupa dunia ini terus berkembang, bukan statis. Teknologi yang ada sekarang mungkin sepuluh tahun mendatang tidak berguna lagi. Kadang diperlukan teknologi yang melompat. Misalnya dari membuat ban, sayap, mesin, melompat langsung membuat utuh seperti pesawat terbang atau mobil. Bila kita ingin mengembangkan pengetahuan, kita bisa melakukannya dari dasar hingga yang super canggih. Kita harus tetap menggunakan teknologi. Sekarang yang penting adalah bagaimana memilih teknologi yang tepat di Indonesia.
Bila langsung melompat ke teknologi canggih, bagaimana seharusnya keberadaan masyarakat?
Sekarang saja negara kita sudah mempraktekkannya. Negara kita sedang menuju ke industrialisasi. Teknologi yang dikembangkan sekarang belum canggih, masih biasa-biasa. Bahkan masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain.
Nilai tambah dari teknologi canggih dalam produk Indonesia juga masih rendah, belum dimanfaatkan secara maksimal. Kita dapat membandingkan penjualan kayu batangan dengan kayu olahan. Kayu batangan memiliki harga yang lebih tinggi. Hal ini memang ada hubungannya dengan pendidikan dan keahlian masyarakat. Kalaupun ada yang canggih-canggih seperti komputer, itu hanya rakitan. Kita lebih banyak menggunakan dan merakit. Keadaan ini yang mendapat untung adalah penjual komponen. Kita belum mampu menciptakan sendiri!
Teknologi canggih membuat manusia menjadi dehumanisasi, sekulerisasi, dan materialisasi. Mengapa ini terjadi?
Itu memang terjadi. Kita dapat melihat contoh konkretnya dari negara-negara Barat. Itu karena nilai dan tujuannya semata-mata mencari keuntungan.
Bila dapat melihat dampaknya terjadi di negara Barat, mengapa kita tidak mengantisipasinya?
Bukan karena tidak mengantisipasi. Negara kita tidak mau disebut negara sekuler, kan? Kita selalu meneriakkan bangsa Indonesia. Bangsa yang beragama dan ber-Pancasila.
Itu juga tergantung pada individu. Apakah kita pelaku atau penonton? Bila pelaku, maka kita harus menerapkan nilai yang kita anut. Pelaku tidak membiarkan orang yang berbuat kesalahan. Orang yang menganut materialisme ekstrim akan berbuat, mau tidak mau, memperlakukan manusia secara tidak manusiawi. Oleh karena itu, kita harus memeriksa diri, jangan langsung menunjuk orang.
Banyak para pakar teknologi melihat manusia itu bukan manusia lagi, tapi objek percobaan. Mengapa sampai terjadi demikian, Pak?
Nilai moral yang dimiliki sudah menipis. Dalam etika penelitian dan pengetahuan, kejujuran merupakan syarat mutlak. Namun kita juga harus melihat hal lain, yaitu tujuan akhir penelitian, metode yang benar menurut pengetahuan dan masyarakat. Sebagai umat percaya, kita harus mengatakan bahwa kebenaran itu benar. Kita berdosa bila membiarkan orang yang berbuat dosa.
Bagaimana Bapak mengintegrasikan antara ilmu dan teknologi?
Banyak nilai dan pekerjaan sehari-hari yang dapat menumbuhkan kepercayaan. Hukum-hukum kerja dan penelitian yang ditekuni biasanya membuat kita melakukan dan menaati perintah Allah.
Saya menekuni teknologi pertanian. Apa kata Alkitab tentang masa panen? Kita dapat belajar dari peristiwa Boas dan Ruth. Ketika panen, Boas membiarkan Ruth mengambil hasil jelai yang tertinggal. Melalui hal seperti itu, saya mengajar masyarakat petani untuk mempraktekkannya. Saya tidak melihat ada kesulitan dalam menerapkan iman di lapangan.
Banyak juga ilmuwan yang akhirnya menjadi ateis. Mengapa sampai terjadi?
Mereka mengalami alokasi terutama di bidang canggih. Mereka mengira dunia ini dapat ditentukan ilmu-ilmunya. Itu dapat terjadi karena dalam diri manusia sudah ada bibit-bibit kesombongan. Menyembah berhala itu ada bermacam-macam. Diri kita dapat menjadi berhala bagi diri sendiri maupun orang lain.
Bila membaca biografi, semakin pandai orang biasanya semakin takut pada Tuhan. Mereka semakin sadar akan pengetahuan yang dimiliki itu ada asalnya. Mereka merasa semakin tidak tahu banyak. Seharusnya semakin pandai dan banyak penemuan yang dilakukan, orang semakin seperti padi. Memang ada orang seperti pepatah Belanda yang berbunyi ‘bila dalam keadaan damai dan makmur orang melupakan Tuhan dan serdadu’. Bila susah dia datang lagi.
Bapak ‘menciptakan’ beberapa jenis tumbuhan baru seperti ketela, jagung jenis baru, dan sebagainya. Bagaimana Bapak melihat itu sebagai berkat Tuhan?
Pekerjaan itu bersifat material dan spiritual. Material berarti kita memahami (meneliti-red), mengupayakan, dan menghasilkan benda. Namun jangan lupa. Pekerjaan harus kita anggap sebagai ibadah. Karena melalui itu kita dapat menemukan kebenaran.
Ketika melihat tanaman tumbuh subur, misalnya. Saya dapat melihat bahwa Allah terlibat. Begitu juga bila penelitiannya berantakan, di situ saya mencoba melihat rencana Tuhan.
Dikatakan ‘melibatkan Tuhan dalam pekerjaan’ memang dapat menimbulkan sikap ekstrim. Kita menganggap segala kejadian dalam pekerjaan adalah nasib. Ini salah. Karena merasa semua kejadian adalah takdir. Akibatnya kita tidak bekerja secara disiplin, sungguh-sungguh, dan bertanggung jawab. Namun, saya setuju, dalam memutuskan setiap hal yang hendak dikerjakan harus melibatkan-Nya.
Kalau melibatkan unsur material saja maka segala yang dikerjakan hasilnya pun material. Saya pernah survei bersama orang asing. Setiap yang bekerja dibayar per hari. Ketika hari Minggu tiba semua pekerja ingin tetap bekerja. Saya langsung menolak. Saya katakan, “Saya harus ke gereja.” Karena dalam mengejar materi, teknologi, dan ilmu, aspek spiritual tidak boleh dilupakan.
Apakah Bapak tidak memiliki kendala dalam menerapkan iman dalam penelitian?
Pasti ada. Tapi itu kan komitmen. Memang bisa saja iman itu dikesampingkan. Namun, apa sebenarnya tujuan hidup kita? Kita harus kembali ke dasar iman.
Orang berlomba menguasai teknologi canggih. Sementara Bapak berkecimpung di ‘dunia’ teknologi pertanian. Apakah itu memang kerinduan Bapak?
Dulu saya ingin menjadi pelaut. Tapi orangtua menginginkan ke ‘dunia’ pertanian. Dan karena sejak kecil berteman dan berada di dunia pertanian maka akhirnya masuk juga ke dunia pertanian. Sekarang, pertanian sebagai kerja dan pelayanan. Itu saya lakukan karena melihat para petani membutuhkan bahan-bahan yang baik.
Apakah Bapak juga mempertimbangkan kebutuhan masyarakat Indonesia?
Dalam melakukan penelitian memang mempertimbangkan hal-hal tersebut. Bila meneliti satu jenis tanaman, saya lihat dulu apakah hasil penelitian itu akan dimanfaatkan masyarakat. Di Irian Jaya misalnya, banyak nyamuk malaria. Maka sebagai ilmuwan pertanian saya meneliti satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat pengusir nyamuk bila tanaman itu dibakar. Begitu juga dengan kebutuhan air. Karena Irian itu berbukit-bukit, maka untuk menyalurkan air ke rumah-rumah membutuhkan pipa. Pipa besi mahal, maka untuk mengatasinya para petani dianjurkan menanam bambu.
Bila masyarakat hanya sebagai pemakai hasil teknologi, apa dampaknya, Pak?
Dari segi ekonomi berarti menghidupi para pembuat teknologi. Kita tidak pernah membuat atau merakitnya. Tapi yang perlu kita pertimbangkan saat ini adalah apakah teknologi yang kita gunakan sekarang sudah selektif?
Sampai sekarang teknologi yang digunakan di Indonesia belum selektif. Sekarang dan yang akan datang yang penting adalah teknologi komunikasi. Apakah masyarakat sudah mengantisipasi dampak dari hasil teknologi komunikasi?
Bagaimana menurut Bapak? Seharusnya sikap dan tanggung jawab ilmuwan Kristen dalam perkembangan teknologi di Indonesia?
Kita harus bertindak sesuai dengan hati nurani. Kita perlu belajar dari kesalahan orang Barat. Setelah perkembangan industri yang demikian pesat, masyarakat dan ilmuwan tidak percaya serta tidak memerlukan Tuhan lagi dalam kehidupan. Beriman dan membutuhkan Tuhan bukan mode lagi dalam hidup mereka. Meskipun nilai Kristen dipraktekkan, tapi bukan atas dasar percaya. Mereka melakukan karena tuntutan moral. Bila dihadapkan dalam satu pilihan, mereka tidak mempertimbangkan kehendak-Nya. Mereka memilih berdasarkan keadaan. Padahal keadaan manusia itu berubah-ubah. Akibatnya, manusia tidak memiliki pegangan.
Apakah keadaan damai dan makmur sudah cukup dalam kehidupan manusia?
Tidak. Itu memang menunjukkan kemanusiaan manusia. Kita juga membutuhkan Tuhan dan sesama. Dalam pengalaman hidup, manusia sering kali hanya melihat kebutuhan itu. Kemanusiaan manusia dapat dilihat dari cerita Alkitab tentang beberapa orang berpenyakit kusta. Setelah sembuh, hanya seorang yang berterima kasih. Setelah Perang Dunia II, kemakmuran dan tingkat pendapatan masyarakat meningkat terus. Itu membuat banyak masyarakat lupa pada pencipta mereka.
Bagaimana peran umat dan ilmuwan Kristen dalam memperkecil dehumanisasi, sekulerisasi, dan materialisasi di masyarakat?
Ini pendapat pribadi. Kita harus menerapkan keimanan dan spiritualitas dalam kehidupan. Kita sendiri harus menerapkan yang benar. Masing-masing kita harus memberikan pengaruh positif dalam ‘dunia’ yang kita geluti. Suatu ketika saya ditegur seseorang bahwa saya terlalu banyak membaca Alkitab. Saya sangat marah. Setelah di rumah, perkataan itu saya renungkan kembali. Melalui itu saya renungkan ulang tujuan hidup ini. Hidup bukan sekedar mengejar materi, walaupun itu perlu. Sampai sekarang, saya puas dengan kehidupan seperti ini. Saya bersyukur kalau apa yang dikatakan orang tersebut benar adanya. Ini memang pribadi dan tidak bisa dipaksakan pada orang lain.
Dalam mengajar pun saya tidak hanya mengajar ilmu, juga memasukkan etika pada ilmu dan mahasiswa. Memang semua orang boleh mendengar. Juga berhak untuk tidak mendengar.
Bagaimana seharusnya sikap ilmuwan memandang ilmu dan iman?
Saya tidak pernah mengkontraskan dan mengadu antara iman dan ilmu. Ilmu, bila benar diteliti, pasti menemukan kebenaran. Karena kebenaran itu ada pada Tuhan. Seharusnya iman dan ilmu tidak ada konflik. Karena ilmu itu pasti mengarah pada kebenaran-Nya.
Tapi ada teori-teori yang meniadakan adanya Tuhan, Pak?
Itu terjadi karena keangkuhan manusia. Itu bukan salah ilmunya. Itu kesalahan sikap dari orangnya. Saya pernah berdiskusi dengan orang yang percaya mutlak bahwa tulisan tiap kata dalam Alkitab itu benar. Tuhan membuat bumi selama 6 hari dan hari ke tujuh Allah beristirahat. Itu benar. Tapi kita tidak tahu bahwa satu harinya Tuhan belum tentu sama dengan satu harinya kita. Karena satu harinya kita dengan satu harinya orang Yahudi saja sudah berbeda. Satu harinya kita 24 jam, walaupun satu hari Yahudi 24 jam, tetapi dikelompokkan menjadi dua bagian. Penghitungannya pun berbeda. Dari matahari terbenam sampai matahari terbit, dan dari matahari terbit hingga matahari terbenam.
Saya melihat itu bukan suatu konflik. Tuhan bisa saja hanya berbuat seperti ini (Fred Rumawas menggerakkan jari tangannya sambil membunyikan) untuk menciptakan jagat raya. Kita jangan lupa, Tuhan bekerja dengan satu pola tertentu juga. Sampai sekarang, jika boleh dikatakan, Tuhan menggunakan pola yang bertahap. Bila kita membaca, justru orang-orang yang paling beriman adalah orang-orang yang mendalami ilmu fisika inti. Bila para ilmuwan mau merendah sedikit saja, maka kita dapat melihat segala peristiwa dan temuan bukan secara kebetulan.
Para teolog berpendapat bahwa perkembangan teknologi sekarang ini adalah salah satu tanda akhir zaman. Tanggapan Bapak?
Saya pikir kita masih jauh dari itu. Memang di Kitab Wahyu ada tanda-tanda yang diberikan. Saya tidak percaya bahwa perkembangan teknologi itu adalah tanda akhir zaman. Kita tidak tahu kapan Tuhan datang karena Dia akan datang seperti pencuri.
Kalau memang benar sebagai akhir zaman, orang Kristen tidak perlu terlibat dalam perkembangan teknologi?
Harus terlibat! Mengapa? Karena teknologi itu netral. Bila kita tidak terlibat, berarti kita membiarkan orang lain yang memberi nilai pada teknologi tersebut. Ini malah memperburuk lagi. Justru jika kita mundur, maka kita akan semakin bersalah. Kita justru harus mengisi teknologi tersebut dengan nilai-nilai positif.
Apa saran Bapak untuk para teknolog Kristen?
Pertama, kita harus lebih menjalin hubungan dengan Tuhan. Hubungan disini bukan hanya sekedar baptisan dan sidang jemaat. Hubungan kita harus terus berkembang. Sama seperti tanaman yang harus terus tumbuh. Untuk tumbuh, perlu disirami dan dipupuk. Iman kita pun harus diberi makan dengan firman-Nya. Kebutuhan jasmani dan rohani harus seimbang. Jika tidak seimbang, manusia bukan saja tidak berguna, tetapi juga merusak dan bahkan menghancurkan.
Bagi para mahasiswa yang ingin mendalami satu bidang ilmu, bersikaplah benar, lakukan dengan tanggung jawab dan disiplin.