Saat teduh (disebut juga waktu teduh) sangat penting dalam hidup rohani orang Kristen. Saking pentingnya, waktu teduh sering disamakan dengan makanan rohani kita. Peluang ini dimanfaatkan penerbit Kristen untuk mencetak buku-buku pedoman untuk saat teduh. Sampai di mana kita bisa mengandalkan buku pedoman dalam waktu teduh kita? Apakah persekutuan keluarga dapat menggantikan waktu teduh? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, DIA khusus menjumpai Dr. Iman Santoso, staf Perkantas periode 1972-1973 yang lahir di Jakarta, 24 Maret 1943. Lepas dari Perkantas, Iman Santoso melanjutkan studinya di Fuller Theological Seminary dan meraih gelar Doctor of Missiology (D. Miss.) serta Doctor of Philosophy (Ph.D.). Silakan simak!
Belakangan ini semakin terasa bahwa orang Kristen membutuhkan buku pedoman untuk membaca Alkitab. Sehingga ada kecenderungan kita bergantung pada buku pedoman. Bagaimana menurut Bapak?
Sebenarnya, yang terpenting bukanlah buku pedoman. Masalah utamanya terletak pada hubungan seseorang dengan Tuhan sendiri. Dalam hubungan ini, Tuhan bisa berbicara melalui buku pedoman atau mungkin dengan cara lain. Seperti ditulis dalam Ibrani 1:1. Tuhan berbicara dengan berbagai cara, melalui nabi-nabi, melalui angin sepoi-sepoi, melalui guntur. Waktu di Gunung Sinai, Tuhan berbicara kepada Musa melalui kuasa-Nya yang besar. Dalam hubungan pribadi dengan Tuhan, kita mengalami Tuhan berbicara pada kita. Kita bicara pada Tuhan. Ada persekutuan, begitu. Caranya macam-macam. Seperti yang saya katakan, bisa melalui buku pedoman, atau buku saku lain. Musa juga dalam Penelaahan Alkitab (PA) pribadi Tuhan berbicara langsung kepada kita, waktu kita membaca firman dan menggumuli firman. Kalau kita berpegang penuh pada satu buku pedoman, nanti kita membatasi Tuhan. Tapi bukan berarti juga kita tidak boleh memakai buku pedoman. Tapi marilah kita melihat kebutuhan kita pada suatu saat, kita sedang membutuhkan apa. Solid foundation? Kalau demikian kita berarti kita harus mempelajari dengan lebih pokoknya. Saat teduh itu berarti kita memberi waktu yang tidak tergesa-gesa sehingga kita bisa mengalami persekutuan yang intim dengan Tuhan. Untuk tidak tergesa-gesa, saya pikir pasti lebih dari lima menit. Kalau kita mempunyai hubungan yang akrab dengan Tuhan, kita bisa segera mengalami Tuhan berbicara. Tapi kalau kita lalai memelihara hubungan dengan Tuhan, ya lama, susah lagi mulainya.
Sekarang sudah banyak keluarga Kristen membiasakan adanya persekutuan keluarga. Apakah dengan adanya persekutuan keluarga kita dapat menggantikan saat teduh?
Oh, tidak. Tuhan berbicara kepada satu kelompok, tapi Tuhan juga berbicara kepada tiap anggota dalam kelompok itu. Jadi, walaupun secara kelompok kita mempunyai kebutuhan yang sama misalnya, secara pribadi kita mempunyai keberadaan khusus dalam kelompok itu. Tuhan berbicara kepada kita secara khusus juga.
Ada yang lebih suka persekutuan pribadi karena katanya persekutuan keluarga tidak hidup. Bagaimana menurut Bapak?
Itu sebenarnya bergantung apakah tiap anggota merasa masalah keluarga juga masalah saya. Jadi, kalau masalah keluarga menjadi masalah kita dan hubungan keluarga adalah hubungan kita, maka kita merasa, di dalam hubungan persekutuan sebagai keluarga dengan Tuhan, persekutuan kita menjadi hidup.
Tapi kalau itu hanya sebagai satu kewajiban, tanpa mengerti esensinya, ya persekutuan itu bisa jadi paksaan saja. Dalam satu keluarga penting sekali adanya hubungan antara ayah sebagai kepala keluarga dengan anggota keluarga dan antara sesama anggota keluarga. Tuhan harus berada pada pucuk pimpinan keluarga itu. Persekutuan keluarga sebaiknya dilakukan setiap hari.
Dengan demikian, tiap anggota merasa persoalan yang lain, persoalannya juga. Dan mereka saling mendoakan. Jadi, ada suatu aksi yang harus kita perbuat sebagai anggota keluarga. Persekutuan keluarga bisa menjadi sarana untuk membangun keintiman keluarga, membangun iman dalam keluarga. Secara praktis, pokok-pokok doanya dicatat dan jawabannya dicatat juga. Itu sangat membantu menghidupkan persekutuan keluarga.
Seringkali orangtua memaksa anaknya untuk ikut dalam persekutuan keluarga. Apakah tindakan demikian (pemaksaan) dapat dibenarkan dalam konteks rohani?
Saya ingat satu contoh. Sebidang tanah yang ditaburkan benih yang baik, kalau dibiarkan begitu saja, akan tumbuh liar dan rumput. Tidak mungkin tumbuh anggur yang manis, misalnya, atau buah-buahan yang bagus. Yang tumbuh biasanya yang jelek dan merusak. Dengan dasar itu, orangtua mestinya harus punya kerinduan untuk menaburkan benih yang baik dalam diri anak-anak itu. Memang tergantung juga pada bagaimana caranya disiplin itu bisa dibangun. Mungkin dengan contoh, terutama contoh orangtua itu sendiri. Tapi kadang-kadang seperti saya juga, memaksa diri untuk waktu teduh itu perlu karena saya tahu bahwa saya harus makan tiap hari.
Apakah perlu ada seseorang yang mengontrol waktu teduh kita? Siapa?
Oh, perlu! Dalam kelompok. Contohnya melalui kelompok tumbuh bersama (KTB) diadakan perjanjian misalnya dengan anugerah Tuhan saya berjanji akan waktu teduh tiap hari. Tiap minggu kita bisa mengontrol waktu teduh dengan menceritakan apa yang didapat. Kita memang harus hidup bersama orang lain dalam kelompok. Dalam KTB kita saling menguatkan; dalam kelompok kecil di persekutuan keluarga kita saling membangun dan menghidupkan. Jadi, persekutuan pribadi dengan Tuhan itu penting, dengan sesama juga tidak kalah pentingnya!