Para komunitas fasilitator masyarakat sering menertawakan dirinya dengan lelucon menarik. Suatu hari, seorang Peternak ratusan sapi didatangi seseorang yang tidak dikenal dan tidak diundang. Dengan penampilan yang meyakinkan, tamu ini berujar, “Saya tahu jumlah sapi Bapak serta yang terkena penyakit. Dengan nada heran, Peternak tadi bertanya balik, “Berapa?” Akan tetapi, orang tadi hanya mau menjawab kalau diberi imbalan. Penasaran dengan perangai tamu ini, Peternak akhirnya menyanggupi. Ternyata jawabannya tepat. Melayanglah sejumlah sapi sebagai imbalan. Peternak pun kecewa. Belakangan, baru ketahuan kalau tamu tadi seorang konsultan.
Itulah fasilitator masyarakat sebagai pihak luar dalam pemberdayaan masyarakat. Ciri-cirnya unik. Pertama datang tanpa diundang. Kedua memberitahu apa yang sudah orang tahu. Ketiga meminta imbalan mahal dan terakhir mengecewakan lagi.
Terlalu sering pihak luar masuk kemasyarakat tanpa bermodalkan pemahaman yang benar mengenai siapa masyarakat itu. Ironisnya seringkali para konsultan atau fasilitator atau petugas lapangan belum menyadari untuk apa dia berpartisipasi dalam masyarakat. Sikap seperti ini merupakan virus yang mematikan untuk program pemberdayaan masyarakat.
Partisipasi : Siapa yang Berpartisipasi ?
Pada setiap kesempatan, bila bertemu dengan para fasilitator, saya sering bertanya, “Sebelum Anda memasuki satu desa, apakah desa itu sudah ada? Dengan cepat dijawab, “Ada”. Kemudian saya bertanya lagi, “Setelah Anda meninggalkan desa tersebut hilang atau tetap ada ? Sambil tersipu fasilitator menjawab, “Tetap ada”. Belajar dari sini saya terus mendidik diri untuk memiliki pemahaman, bahwa keberadaan sebuah desa sebenarnya tidaklah karena saya. Ada atau tidaknya saya didesa tersebut, desa itu telah ada dan akan tetap ada.
Kembali di lain kesempatan, saya bertanya pada para fasilitator, “Ketika Anda pergi ke satu desa, siapa yang berpartisipasi pada desa itu, Anda atau masyarakat? Misalkan, Anda memiliki sebuah rumah, tiba-tiba seseorang datang untuk memperbaikinya. Dia memasuki rumah Anda. Memberikan perintah ini dan itu, yang semuanya tidak menarik bagi Anda. Lalu dia berkata, “Hey, Anda tidak berpartisipasi, mungkin karena Anda tidak berpendidikan”. Saya percaya, mendapat perlakuan demikian, Anda pasti marah. Lewat kasus ini, menurut Anda, siapa seharusnya yang layak berpartisipasi, Anda atau pemilik rumah?
Kenyataan, pihak luar seringkali meminta partisipasi orang-orang lokal (pemilik rumah). Inilah yang terjadi dengan proyek-proyek pembangunan. Pihak luar berkata kepada masyarakat, “Mengapa Anda tidak berpartisipasi dalam pada proyek saya?”. Atau berpendapat bahwa di desa ini tingkat partisipasi masyarakatnya rendah. Sadarkah Anda sedang berbicara sesuatu yang tidak masuk akal. Padahal partisipasi kita pun sebagai pihak luar tidaklah cukup. Ini berarti, keberadaan kita sebagai orang luar hanya pura-pura. Hanya buatan (artificial) bukan menempatkan diri sebagai masyarakat desa. Membutuhkan partisipasi masyarakat, tetapi tidak pernah merefleksikan partisipasi kita sendiri. Partisipasi bukan untuk masyarakat desa, tetapi untuk pihak luar. Disinilah esensi dari “Proyek” dan “Partisipasi”.
“Proyek” dan “Partisipasi”
Dalam bahasa Inggris, proyek memiliki beberapa arti. Saya akan mengemukakan dua arti yang saling berkaitan. Pertama; dia merupakan suatu pekerjaan yang ditata dengan baik dan didesain untuk mencapai suatu tujuan. Kedua; bila Anda berkata “saya ada proyek” itu sama dengan kita sedang menebak suatu yang akan terjadi di masa yang akan datang. Secara alami, dalam peran kita di masyarakat, sebenarnya, kita telah melakukan kedua arti ini.
Lalu, mengapa dan apa yang memberikan kita hak untuk melibatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat dan ikut memproyeksikan hidup mereka. Kita hanya bisa menggunakan hak itu bila memiliki tujuan yang sama dan bertanggungjawab dengan masyarakat desa. Kita juga dapat menggunakan hak itu, bila mendapatkan persetujuan dari masyarakat. Bukan karena kita lebih mampu atau karena diminta oleh donor atau hanya karena tuntutan tugas. Kita harus hati-hati untuk melakukan sesuatu dalam masyarakat. Jika kita tidak mempunyai gambaran jelas/kongkrit mengenai masyarakat yang akan kita “antisipasi”, sebaiknya kita tidak perlu mengunjungi desa itu. Ini bicara soal tanggung jawab akan masa depan mereka. Sebaliknya, bila kita menggunakan cara yang kurang hati-hati, sama saja kita masuk dalam kategori arogan/sombong. merendahkan masyarakat, menempatkan diri sebagi benefactor bukan egaliter (menempatkan diri sebagai partner/rekan).
Perangkap Kesalahan Katakonik
Istilah Partner, memberikan penegasan bahwa membangun pertemanan merupakan tahap pertama dari keseluruhan proses pemberdayaan masyarakat. Membangun pertemanan artinya menjadikan orang lain itu bukan lagi ‘orang lain’, tetapi kita. Ini penting karena tanpa peleburan ‘mereka’ menjadi ‘kita’, proses pemberdayaan itu tidak jalan karena setiap orang mengejar arah dan tujuannya sendiri-sendiri.
Sebagai konsekuensinya, dituntut kepekaan para fasilitator dalam tahap ini untuk lebih berhati-hati agar tidak masuk dalam perangkap kesalahan katakonik (cathaconic error). Yakni suatu kesalahan dimana orang mengadili sesamanya berdasarkan kategori atau nilai-nilai asing. Dengan latar belakang budaya dan adat istiadat yang melekat dalam dirinya. Kesalahan katakonik ini tanpa disadari kerap dipraktikan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Salah satu contoh kesalahan katakonik adalah menilai pertandingan tenis meja dengan peraturan tenis lantai. Bagi seorang fasilitator, kesalahan katakonik terjadi ketika ia menilai kebiasaan dan cara pandang masyarakat setempat dengan seperangkat nilai kacamatanya sendiri. Dengan paradigma yang ia bawa dari luar konteks masyarakat bersangkutan.
Jangan heran jika kebiasaan-kebiasaan masyarakat di wilayah pendampingan cenderung bernilai minor di mata fasilitator tertentu. Sehingga acapkali fasilitator sebagi pihak luar berpikir bahwa hal-hal yang kuno dan tradisional harus diganti yang baru. Selalu mencari apa yang tidak dipunya tanpa melihat apa yang dipunya. Atau selalu menganggap bahwa pihak luar mempunyai hal-hal yang lebih baik daripada yang dimiliki oleh masyarakat. Benarkah kerangka berpikir ini?
Baru-baru ini rekan saya, Yan Ghewa mengirim email kepada saya dengan subjek True Happiness yang bercerita tentang seorang Timur Tengah bernama Nasrudin. Pada suatu senja hari Nasrudin terlihat gelisah mengais-ngais pasir di halaman rumahnya. Seorang tetangga yang lewat di situ bertanya, apa yang sedang Nasrudin lakukan? Dia menjawab, “Saya sedang mencari jarum yang jatuh”. Lama-kelamaan semakin banyak orang bersimpati dan turut mencari jarum tersebut bersama Nasrudin hingga hari menjelang malam jarum itu tidak ditemukan. Kemudian salah seorang yang sudah kelelahan bertanya, “Di mana jarum tersebut terjatuh?” Nasrudin menjawab, “Di dalam rumah”. Orang-orang tersebut membalas, “Mengapa engkau mencarinya di luar rumah?” Nasrudin dengan enteng menjawab, “Karena di dalam rumah gelap”. Demikianlah, dari hari ke hari rombongan orang-orang yang mencari kebahagiaan di luar semakin banyak. Padahal kalau mau bersabar mencari biar dalam gelap atau dalam masyarakat sendiri niscaya kebahagiaan hakiki pasti ditemukan.
Meminjam logika berpikir John S. Dunne yang memakai term coming back. Sebagai satu cara melepas kebaisaan kesalahan katakonik, term ini mengatakan “engkau keluar dari dalam kesatuan dengan orang lain dan engkau melihat kebangkitan individualtiasmu sendiri”. Momen ini dimaksudkan sebagi momen refleksi bagi para fasilitator masyarakat untuk mengisi amunisi baru agar terbangun motivasi baru, semangat baru, kesadaran baru, dan daya hidup baru.
Makanya, sejumlah peserta pelatihan fasilitator pemberdayaan masyarakat di Nias terkejut ketika sesi saya tutup dengan kalimat “a persons mind is like parachute, it does not function unless it is open”. Begitu kepala kita tutup, secara intelektual kita sebenarnya sudah mati.
Bercermin dari sini, jangan berpikir bahwa pekerjaan fasilitasi tidak membutuhkan refleksi atau refleksi hanya cocok untuk para filsuf. Refleksi harus menjadi bagian dari hidup setiap orang. Socrates, sesepuh para filsuf telah mengatakan hal itu pada zamannya. “Hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang sia-sia, yang tidak layak untuk dihidupi.”
—– Dituliskan oleh Fary Dj. Francis,Anggota DPR RI Komisi V Bidang Infrastruktur & Pembangunan Daerah Tertinggal, Fraksi Partai GERINDRA.
—— Diterbitkan pada edisi no.2 tahun ke-XXIV 2010, Memulai sesuatu untuk perubahan masyarakat