Sigit Budi Darmawan:
“Tidak Sekadar Tinggal dan Tidak Peduli”

Sebagai garam dan terang, alumni Kristen diharapkan untuk berpartisipasi dalam upaya menghadirkan nilai-nilai kerajaan Allah di manapun mereka berada. Dalam wawancara kali ini, Philip Ayus dari Majalah Dia menemui ketua Graduate Center, Sigit Budi Darmawan, S. T. untuk berbincang mengenai hal tersebut. Simak rekaman pembicaraan Philip Ayus (PA) dengan Sigit Budi Darmawan (SBD) berikut:
PA: Mas Sigit pernah bercerita menjadi salah satu pengurus RT. Sampai sekarang masih jadi pengurus RT?

SBD: Masih, sampai sekarang. Kalau di RT kan itu nggak bisa nolak, karena kedekatan dengan masyarakat itu membuat kita nggak bisa menolak kalau masyarakat membutuhkan. Maka waktu mereka bilang, “Bapak jadi pengurus ya,” saya nggak punya kehendak untuk menolak. Karena saya hidup di masyarakat, di sekitar mereka, berinteraksi dengan mereka, jadi kalau mereka memberikan kepercayaan itu, ya mau tidak mau saya menerima. Tidak ada pertimbangan ini-itu.

PA: Bagaimana awal mulanya terlibat di kepengurusan RT?

SBD: Paling kalau ada aktivitas-aktivitas kemasyarakatan, misalkan ada pertemuan-pertemuan RT dan sebagainya saya hadir. Mungkin dari situ mereka melihat perlu regenerasi, perlu ada orang-orang baru yang terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Jadi waktu mereka bilang, “cobalah bantu untuk mengurus,” tak ada hasrat sedikitpun untuk menolak. Jadi saya terima langsung. Kalau dipercaya sih saya mau saja, nggak ada masalah, dan sudah hampir 3 tahun jadi pengurus RT. Jadi saya dan istri akhirnya terlibat dalam kegiatan RT, ada senam bersama, ada arisan, segala macam. Ikut Rapat RW, ya, hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas ke-RT-an, termasuk ngurusin administrasi warga.

Ujung tombak pelayanan pemerintahan itu ada di RT. Misalnya masalah kewarga negaraan ganda, sesungguhnya ujung tombaknya untuk menyortir pertama itu RT. Kalau kita tegas, kewarga negaraan ganda itu tidak akan terjadi. Seseorang punya dua KTP, tiga KTP, itu karena pengawasannya lemah. Ada banyak kasus terjadi, orang betul-betul meminta dibuatkan KTP baru, padahal sudah punya KTP di tempat lain. Saya bilang tidak bisa. Mereka harus pindah, baru saya buatkan KTP. Karena kalau tidak, akan double kependudukannya. Bisa dibayangkan, efek dominonya besar secara nasional nantinya. Saya strict ke aturan. Hal-hal semacam itu membuat saya berpikir bahwa kehadiran saya di kepengurusan RT mungkin memastikan bahwa aturan dijalankan dengan benar, di samping untuk memberikan pelayanan yang lebih cepat. Selama syarat-syarat lengkap, saya pastikan 1×24 jam sudah terproses. Itu komitmen sih sebenarnya. Itulah kontribusi yang bisa kita berikan. Saya memastikan bahwa administrasi berjalan dengan baik, karena implikasinya panjang. Kalau KTP ganda misalnya, data jumlah penduduk bisa tidak akurat, masalah Pemilu pun nanti akan amburadul, dan sebagainya. Jadi implikasinya luar biasa buat sistem kehidupan sosial politik di masyarakat.

Ada juga kasus-kasus di mana saya terpaksa ikut menengahi pertengkaran antar tetangga, pertengkaran keluarga, karena itu mengganggu hubungan antartetangga. Saya pernah sharing di GC (Graduate Center—red), jam 3 pagi baru bisa tidur, karena ada tetangga yang anak dan orang tuanya bertengkar habis-habisan dan saya harus mendamaikan mereka.

Saya sempat berpikir, apa sih manfaat bagi saya dengan menjadi pengurus RT? Setelah dijalani, ternyata ada benefitnya. Relasi dengan tetangga jadi lebih baik. Melalui pertemuan-pertemuan rutin, kita bisa tahu permasalahan yang sedang terjadi, jadi jauh lebih concern kepada mereka. Menurut saya itu sangat penting, jadi kehadiran kita tidak sekadar tinggal dan tidak peduli, tapi tinggal dan memang berinteraksi dengan mereka. Karena saya pikir tetangga itu kan saudara kita yang paling dekat. Kalau ada apa-apa kita “larinya” ke tetangga. Itulah prinsip saya mengapa mau jadi pengurus RT.

PA: Terkait dengan pelayanan alumni, di mana peran strategis alumni di masyarakat?

SBD: Alumni strategis karena mereka terdiri dari berbagai profesi. Mereka masuk dalam semua struktur sosial kemasyarakatan kita, mulai dari politik, bisnis, sosial, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Mereka punya bermacam-macam hal yang bisa mereka lakukan melalui profesi, kompetensi, disiplin ilmu yang mereka miliki. Kalau itu bisa dioptimalkan untuk melakukan sesuatu dalam konteks membangun Indonesia, pasti dampaknya akan besar. Jadi, resourcesnya sangat besar untuk bisa berbuat sesuatu bagi transformasi masyarakat. Entah apakah itu melalui jejaring di antara alumni sendiri yang mereka miliki atau mereka bisa membangun konektivitas atau jejaring dengan orang-orang yang seprofesi dengan mereka untuk mengembangkan satu misi yang sama untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat. Jadi perannya di situ. Kalau alumni itu bisa digerakkan dan terus diinspirasikan untuk melakukan sesuatu yang positif dalam berbagai aspek, selama dilakukan secara masif/bersama-sama, pasti dampaknya akan besar.

PA: Menurut Mas Sigit, seberapa jauh alumni kristen telah berpartisipasi?

SBD: Mungkin yang kita hadapi adalah masalah zona nyaman, militansi, komitmen. Kalau di mahasiswa kan diajari kelak ketika jadi alumni harus bisa do something, berbuat sesuatu yang konkret bagi lingkungan tempat berprofesi, berkarya, juga di masyarakat. Hambatannya memang di situ ya. Orang berprofesi merasa mendapatkan kenyamanan, apalagi di dalam suatu lingkup dengan kelompoknya sendiri. Sebenarnya kita berharap alumni bukan hanya berinteraksi dengan kelompoknya. Memang itu diperlukan dalam konteks bahwa kita memerlukan penguatan internal di antara kita, bahwa kita punya persoalan dan tantangan di luar dan ingin berinteraksi di dalam komunitas alumni untuk dikuatkan. Tapi setelah itu dia tidak boleh terlalu nyaman dengan komunitasnya sendiri, dia harus bergerak keluar, berinteraksi dengan masyarakat, dengan komunitas dan komponen masyarakat yang lain, dan melakukan sesuatu bersama mereka. Di situlah biasanya constraint-nya, yakni ketika alumni sudah merasa nyaman di dunianya sendiri.

PA: Bagaimana perwujudannya dalam dunia kerja?

SBD: Kalau dalam dunia kerja, biasanya mewujud dalam etos kerja. Alumni harus menunjukkan etos kerja yang baik, harus profesional. Saya mengartikan kata profesional itu do the best, melakukan yang terbaik. Kemudian, dia punya hati yang melayani, mengabdi, dan sebagainya. Cara dia berinteraksi dengan orang dalam konteks interaksi antar orang di dalam pekerjaan itu didasarkan pada konsep melayani, maksudnya memberikan yang terbaik kepada orang lain sehingga orang lain juga bisa berfungsi bersama-sama sebagai sebuah organisasi.

Kemudian di dalam integritas, dalam arti dia mampu memberikan satu model tentang bagaimana menyikapi beberapa permasalahan etika di dunia kerja. Dia harus jadi yang terdepan untuk memastikan bahwa dia menjaga etika bekerja, mematuhi aturan-aturan. Kalaupun bekerja di perusahaan yang belum memiliki code of conduct, minimal dia menciptakan satu model etika kerja. Dulu saya bekerja di bagian pembelian dan banyak parsel dan sebagainya yang diberikan, tapi karena code of conduct perusahaan menyatakan tidak boleh, maka itu tidak saya lakukan. Kalaupun misalkan belum diatur dalam code of conduct perusahaan, alumni juga harus bisa memiliki satu sikap tertentu terhadap beberapa hal yang bersinggungan dengan masalah etika. Kontribusinya mewujud dalam hal itu, dia jadi model bagaimana suatu pekerjaan dijalankan.

PA: Sebagai Ketua GC, bagaimana Mas Sigit melihat peran GC dalam mendorong partisipasi alumni?

SBD: GC hanya berperan sebagai fasilitator dan pembuat jejaring. Sebagai fasilitator, GC memfasilitasi tumbuhnya kesadaran itu, entah melalui model jejaring, komunitas, atau model-model yang lain. Alumni baru masih membutuhkan penguatan, karena itu fokus persekutuan-persekutuan alumni seharusnya banyak membekali mereka agar mereka bisa berperan dalam tantangan dunia kerja. Termasuk bagaimana mereka mengembangkan kompetensi sedemikian rupa sehingga nanti mereka bisa berkembang dalam karir, dalam pekerjaan, dalam banyak aspek lah. Sehingga mereka menjadi alumni yang nanti di lima tahun berikutnya lagi berkembang, baik dalam segi kompetensi kerja, segi karir, maupun aspek-aspek yang lain. Jadi lima tahun pertama itu memang masa penguatan, sehingga mereka tidak mengalami shock dari dunia mahasiswa ke dunia kerja.

Komunitas yang diiniasi oleh GC atau model-model komunitas yang diinspirasikan oleh GC, sebenarnya merupakan inisiatif dari kawan-kawan alumni juga. Karena mereka membutuhkan sebuah model, sebuah tempat, atau sebuah cara, bagaimana alumni bisa memikirkan bersama-sama apa yang bisa dilakukan dalam konteks yang berkaitan dengan panggilan mereka, dan setelah itu mereka bisa berbuat sesuatu yang konkret. Sebenarnya harapannya ke situ. Jadi, peran komunitas-komunitas yang ada pun sebenarnya terbatas bagaimana menginspirasi kawan-kawan alumni, supaya mereka memikirkan lebih jauh partisipasi mereka yang lebih luas.

Misalkan di divisi bisnis, mereka meluncurkan gagasan entrepreneurship, itu kan hal yang memang negara ini perlukan. Negara ini kan masih kecil persentase entrepreneur. Dan komunitas ini harus membangkitkan semangat kewirausahaan pada kawan-kawan alumni. Yang tidak punya passion di bidang inipun bisa jadi kemudian tertarik untuk berwirausaha. Komunitas ini bisa jadi jejaring bersama untuk melakukan banyak hal. Jadi, GC lebih ke arah memfasilitasi munculnya komunitas, dan diharapkan komunitas itu menjadi sarana alumni berinteraksi, memikirkan gagasan-gagasan. Tujuan akhirnya bukanlah komunitas itu, tapi keluar. Komunitas-komunitas ini sifatnya sangat cair, karena memang dimaksudkan untuk inspiring, berjejaring, berkolaborasi, dan sebagainya.

PA: Ada kendala dalam merintis atau mengelola komunitas-komunitas ini?

SBD: Sebagaimana yang sempat saya sampaikan di awal tadi, sebagian besar alumni kita orientasinya masih ke diri sendiri. Barangkali dalam profesi masing-masing mereka mencoba untuk melakukan banyak hal, tetapi bahwa kita membutuhkan keterkaitan antaralumni sebenarnya tujuannya adalah untuk memampukan kita berbuat lebih banyak. Jadi mereka tidak bisa melakukan seorang diri, bahwa ada alumni lain yang berjuang melakukan hal yang sama. Problem ini yang harus diatasi. Komunitas itu sebenarnya lebih ke arah membangun kesadaran bersama. Bukan untuk menciptakan kegiatan-kegiatan ke dalam saja yang bersifat internal, tetapi memang harapannya mereka bisa banyak berinteraksi ke luar.

Misalkan komunitas politik. Membangun kesadaran politik itu kan artinya luas. Berapa persen, misalkan, alumni kita yang memiliki kesadaran politik dalam pengertian politik arti luas, seperti tanggung jawab kepada negara, partisipasi terhadap pembangunan masyarakat, kita tidak tahu. Itu kan bagian dari kesadaran politik yang harus dimiliki oleh warga negara. Membangun kesadaran politik secara holistik itu hal yang tidak gampang, jadi komunitas itu harus terus-menerus bersuara supaya kesadaran politik terus terjadi, dalam kadarnya masing-masing. Orang yang punya kesadaran politik secara luas, minimal dia bisa berbuat sesuatu sesuai dengan konteksnya. Mereka yang ingin terjun lebih lanjut, nah, itu kesadaran politik yang lebih lanjut lagi, yang akhirnya mengerucut dalam bentuk terjun dalam dunia politik, menjadi politikus, aktif di partai politik, LSM, Ormas, dan sebagainya. Harapan secara umum, semua alumni bisa punya kesadaran yang sama, minimal mereka melek politik.

PA: Bagaimana dengan keberadaan media sosial? Sejauh mana alumni memanfaatkan media sosial dalam partisipasi di masyarakat?

SBD: Justru itu yang menurut saya harus dimanfaatkan oleh alumni. Saya pribadi mendorong kawan-kawan alumni untuk memanfaatkan sebanyak mungkin jejaring sosial untuk berinteraksi. Mengapa? Itulah penularan gagasan melalui media sosial, seperti Twitter, Facebook, milis, apapun yang kita miliki. Saya pikir di masa kini menggulirkan gagasan ke publik menjadi sangat mudah. Satu ide yang kemudian dilempar ke publik, kalau publik setuju, bisa digulirkan menjadi satu isu yang besar. Sekarang ada juga gerakan petisi online seperti change.org. Siapapun bisa menggugat isu apapun, entah tentang lingkungan, tentang tenaga kerja, tentang pendidikan. Cukup satu orang saja bisa menggulirkan petisi ini. Dia hanya membutuhkan jejaring kawan-kawannya untuk memberikan dukungan. Ketika itu terjadi, petisi online sudah terjadi, dan itu bisa memengaruhi kebijakan. Sekarang ini Pemerintah banyak sekali memerhatikan isu-isu yang berkembang di Facebook, Twitter, dan sebagainya. Karena mereka melihat bahwa itu adalah tempat di mana orang-orang kelas menengah banyak bermain dan menggulirkan isu-isu yang penting. SBY seringkali kan mengutip beberapa isu yang banyak berseliweran di Twitter, karena dia tahu itu isu-isu yang sering menjadi concern utama kelas menengah, yang notabene merupakan kelompok kelas yang berperan besar menggulirkan banyak perubahan di masyarakat.

Menurut saya sebenarnya kesempatan kita makin besar, karena partisipasi publik sekarang itu sangat besar melalui media sosial. Sekarang dipermudah, orang bisa berpartisipasi langsung. Ini kesempatan kalau kawan-kawan ingin berpartisipasi. Ruang partisipasi publik terbuka luas. Menurut saya ini harus dimanfaatkan untuk menyuarakan apa yang menjadi kepedulian mereka. Hanya, memang dibutuhkan konsistensi, komitmen, untuk terus-menerus menyuarakan hal itu. Kelemahan kita kan kadang-kadang kita berhenti menyuarakan ketika menyadari bahwa suara kita tak banyak direspon. Tapi itu kan bagian dari konsistensi. Jadi kalau konsisten saja terus menyuarakan apa yang menjadi kepedulian, suatu saat orang akan memerhatikan itu. Dan saya percaya itu akan memengaruhi banyak hal. Karena itu, kalau misalkan saya memanfaatkan Facebook untuk menelurkan gagasan, itu tidak lain upaya untuk memengaruhi publik. Teman atau follower saya akan membaca dan tahu sikap atau pandangan saya mengenai hal-hal tertentu. Jadi, kita tidak sulit lagi menggulirkan gagasan dengan adanya media-media sosial. Saya dorong alumni untuk mengoptimalkan media jejaring sosial.

(SBD membaca ponselnya) Ini change.org bicara tentang Hepatitis C, minta dukungan untuk menurunkan harga pengobatan Hepatitis C agar terjangkau masyarakat. Ketidakadilan dalam penentuan harga bisa digugat oleh masyarakat, karena terkait kepentingan publik secara luas. Jadi betapa mudah sekarang untuk masuk ke isu-isu yang krusial di dalam masyarakat dan menggulirkannya menjadi satu isu bersama. Sehingga menurut saya tidak ada constraint lagi bagi alumni untuk berpartisipasi secara konkret dalam masyarakat, dalam konteks sesuai dengan kapasitas yang kita miliki masing-masing. Kita punya passion, kita punya concern masing-masing terhadap banyak hal kan. Ada yang mungkin isunya masalah penghidupan guru, pentingnya kesejahteraan guru. Ya suarakan saja, gulirkan isu itu melalui jejaring-jejaring yang kita miliki. Media sosial ini powernya besar sekali. Terbukti kan di Arab Spring, itu kan karena gerakan dari media sosial. Media sosial membantu mengakselerasi perubahan.

PA: Ke depan, apa yang akan dikerjakan GC?

SBD: Sebenarnya masih sama. Fungsi kita tetap memfasilitasi interaksi alumni supaya memaksimalkan resources yang mereka miliki. Memfasilitasi terjadinya interaksi-interaksi melalui komunitas, persekutuan, ataupun kegiatan-kegiatan baik yang skalanya lokal, regional, maupun internasional. Kita juga punya fungsi networking, yakni membangun link and match di antara alumni. Itu akan sangat diperlukan dalam membangun pelayanan alumni. Kemudian ada coordinating, kita mengkoordinasi sinkronisasi kegiatan-kegiatan alumni yang bersifat nasional. Supaya ada kesesuaian, kesepahaman, kesepakatan terhadap satu visi atau misi pelayanan alumni. Jadi, menularkan semangat itu kepada alumni di daerah. Kami juga memfasilitasi resources yang ada yang dibutuhkan oleh alumni untuk mengembangkan pelayanan mereka. GC punya resources nasional, sehingga jika daerah butuh resource tertentu, kami support. Resource itu kan bisa berbagai bentuk. Tujuannya yang terpenting adalah mempertemukan komponen-komponen alumni, sehingga mereka bisa saling sharing resources, jadi tidak harus melalui GC. GC barangkali bisa memfasilitasi untuk pertemuan atau connecting antara komunitas alumni, jadi mereka bisa berinteraksi setelah difasilitasi oleh GC. Jadi sifatnya lebih ke arah mempertemukan berbagai komunitas, bukan membawahi dan lain sebagainya.
(ays)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *