Prof.Maramis:
Masalah Sosial di Sekitar Kita

Dunia kita makin lama terasa kompleks. Banyak masalah baru bermunculan. Yang dulu tabu sekarang tidak lagi. Orang bisa membicarakan seks dengan bebas. Masalah sosial pun meluas. Soal pelacuran, misalnya, bukan hanya milik wanita nakal Pria dan siswa pun banyak yang melacurkan diri. Semuanya dilakukan bebas dan terang-terangan. Bahkan mungkin tanpa rasa bersalah.

Inilah yang kami ingin angkat dalam laporan utama edisi ini. Khususnya beberapa hal yang belakangan terasa ‘in’. Misalnya homoseksual, yang mulai memasuki kalangan gereja; free-sex yang sejak lama tumbuh di kampus-kampus dan menimpa kaum remaja; soal narkotika, alkohol,pembunuhan, banyak lagi.

Hal-hal di atas mungkin asing bagi kita yang sehari-hari bergerak di sekitar firman Tuhan PMK, dan gereja. Tapi, inilah masalah kita hari ini. Bagaimana firman Tuhan yang kita baca dan renungkan tiap hari dapat menolong kita menghadapi masalah yang terbentang di hadapan kita, Apa arti ‘kita adalah garam dan terang’ bagi masyarakat di kiri kanan kita?

Andi (bukan nama sebenarnya), 20 tahun, dilahirkan sebagai anak laki-laki pertama dari keluarga Kristen yang cukup harmonis. Sebelum Andi, keluarga ini sudah dikaruniai dua anak perempuan. Sebab itu, dapat dibayangkan sukacita orang tua nya ketika Andi lahir. “Tapi saya tidak pernah diasuh Ibu,” Andi mengenang masa kecilnya. “Sebab setahun kemudian ibu melahirkan lagi.”

Di bawah asuhan pembantu Andi hanya sedikit merasakan kasih ibunya. Sebagai kompens asi dia berusaha bergaul dengan wanita untuk mendapat sayang mereka. “Hal ini menyebabkan pikiran dan tingkah laku saya mirip wanita;” tutur Andi lebih lanjut. Itu dia rasakan sejak berusia lima tahun. Andi senang main boneka, main pasaran, menari, dan sebagainya.

Andi beruntung karena ibunya cepat tanggap terhadap tingkah lakunya yang ganjil. Ibu yang bijaksana ini mengarahkannya pada hal-hal yang wajar bagi anak laki.laki. “Saya sangat sayang pada ibu sehingga menuruti setiap kehendaknya.” Secara lahiriah tingkah laku Andi memang berubah. Dia tidak lagi feminin, tapi tumbuh seperti halnya anak laki-laki normal.

“Tapi secara kejiwaan saya tidak normal,” Andi mengungkapkan perasaannya. “Sebagai laki-laki saya tidak tertarik pada lawan jenis. Sebaliknya saya sangat bergairah bila melihat alat kelamin laki-laki. Dan angan-angan pun melamburg tinggi untuk dapat bersamanya. Saya tahu ini tidak benar. Tapi saya menikmatinya dan sukar lepas dari perasaan itu.”

Rekan-rekan Andi yang tahu kelainan ini mulai mengolok-olok dia. Akibatnya, perasaan Andi tertekan dan ia merasa sulit bergaul, walaupun teman-teman pria dan wanita cukup banyak. Pada masa seperti ini Andi mulai mengalami masalah yang berkaitan dengan keadaannya. Dia mulai menyadari bahwa dia seorang homoseksual

“Bangku SMA adalah masa yang indah bagi saya,” ujar Andi membuka diri. “Saya mulai mengenal arti kebebasan dan tidak menyia-nyiakannya. Dengan bekal penampilan dan bakat desain, saya memasuki dunia mode. Saya tahu, lingkungan baru ini terkenal bejat. Tapi begitu mempesona. Di sinilah karier saya mulai. Saya dikenal sebagai fotomodel dan desainer pakaian. Ini membuat saya hanyut makin jauh dalam kehidupan homoseksual.”

Suatu kali Andi bertemu seorang Penari balet (laki-laki) yang punya pacar homo pria bule. Andi suka laki-laki bule lantas bertandang ke rumah cowok itu. Apa akibatnya?

“Setelah ngobrol ke sana kemari mereka merayu dan mengajak saya ke tempat tidur. Saat itu suatu keanehan terjadi. Saya yang biasanya membayangkan kenikmatan tidur bersama pria, tiba-tiba diperhadapkan pada dosa. Saya gemetar dan takut luar biasa seandainya mereka memperkosa saya. Akhirnya, dengan berbagai cara dan alasan, saya berhasil bebas dari cengkeraman mereka, tanpa kehilangan apa pun dari diri saya. Di sini saya bersyukur kepada Tuhan.”

Pengalaman ini mengembalikan ingatan Andi kepada Tuhan. Dia mulai mencari Tuhan. “Dalam masa pencarian ini saya sering jatuh dalam dosa pikiran homoseks. Tapi saya berusaha bangkit secepatnya dan minta diampuni.”

“Biasanya,” ujar Andi, ‘Seseorang homoseksual dalam siatuasi demikian sering melampiaskan hasratnya dalam bentuk onani. Saya pun demikian. Namun perbuatan itu malah menambah stress, membentuk perasaan berdosa, dan keterikatan pada masturbasi makin menjadi. Dalam keadaan putus asa saya minta bantuan psikiatri.”

Andi ditangani dua ahli jiwa saat mengalami stress hebat. Oleh dokter dia langsung divonis: tidak bisa sembuh! “Saya kaget. Tapi pikiran saya langsung tertuju pada Tuhan yang hebat, dahsyat, dan ajaib itu. Saya down, namun Tuhan menolongku. Allahku menciptakan saya secara khusus. Dia punya rencana dalam saya sejak saya dikandung ibu. Dia ciptakan saya tidak setengah, tapi sempurna. Pikiran itu menghibur saya. Tiap kali saya selalu berkata pada diri sendiri: Kamu laki-laki. Kamu normal dan hebat. Tuhan mencintaimu! Saat ini saya sedang memohon kepada Tuhan agar Dia memberikan teman wanita sebagai kekasih. Hal ini akan menolong saya untuk tidak jatuh lagi dalam kehidupan homoseksual.”

Saat ini Andi sedang menyelesaikan studinya di sebuah universitas di Surabaya. Pria normal asal Jawa Tengah yang lahir 24 November 1966 ini bekerja sebagai pegawai negeri. Menutup kesaksiannya dia berkata optimis, “Menurut saya homoseksual bisa disembuhkan asal si Penderita punya kemauan sembuh. Kita perlu terbuka dan belajar menerima diri sendiri seperti yang Tuhan sudah berikan. Jangan coba pergi ke ahli jiwa. Mereka menghalalkan perbuatan homoseksual.

Anda yang ingin sembuh jadi tambah tertekan. Tentu dengan pengecualian, jika dokter itu seorang Kristen yang setia dan mengandalkan Tuhan dalam pengobatannya.” Homoseksual hanyalah salah salah satu dari masalah sosial kita. Bagi Andi, keadaanlah yang membentuk dia menjadi homoseksual. Namun, tidak semua homoseksualisme disebabkan oleh keadaan.

Menurut Prof. Maramis, Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, penyebab homoseks belum diketahui pasti. “Banyak teori yang muncul, tapi belum ada kesepakatan. Yang jelas, tidak ada faktor tunggal. Faktornya banyak, yang satu menyebabkan yang lain, yang mana duluan kita tidak tahu. Hormonkah, atau perlakuan di rumah yang mendukungnya, atau pengalaman hidup yang membuatnya jadi homoseks. Tak seorang pun tahu!”

Banyak orang menganggap homoseksual adalah gaya hidup. Para dokter di Amerika Serikat sepakat menyebutnya gangguan orientasi seksual. Namun, menurut Prof. Maramis, sebagai orang Kristen kita tahu bahwa homoseks adalah penyimpangan seksual. Walaupun kaum homoseksual menurut pengakuan bahwa Tuhan menciptakan mereka, kita tahu bahwa itu tidak benar. Tuhan tidak menciptakan homoseksual. Ini jelas penyakit. Profesor yang aktif di Parok Haqti Kudus Yesus ini menjelaskan lagi, sebenarna dari dulu kegiatan homoseks sudah ada di Indonesia. Cuma sekarang, karena komunikasi sudah terbuka, kita jadi lebih sering mendengar istilah-istilah ini tapi, secara presentase jumlahnya tidak bertambah.

Setelah lebih 25 tahun Praktek sebagai Psikiatri, penyakit ini menurut Profesor Maramis, belum ada yang sembuh total. Apalagi jika penderita sudah terjerumus cukup dalam. Sebab itu, cara terbaik adalah menghindarinya. Kalau kita merasa ada gejala homoseks, kita harus menjaga agar kecenderungan itu tidak berkembang.

Banyak cara mengatasinya, khususnya bagi yang mempunyai gejala homoseks. Antara lain dengan menghindari kelompok itu. Biasanya kaum homoseks memiliki kelompok sendiri. Dalam kelompok itu, Perbuatan ini berkembang mukin parah.

Pendapat Maramis di atas di dukung oleh pendeta R.A. Waney dari GPIB Ebenhezer, Surabaya,  yang empat tahun belakangan  ini juga melayani homoseksual. “Saya baru berhasil sampai tahap mengajak mereka kembali ke gereja,” katanya “Itu pun baru soorang.” Sayang sekali memang, karena tidak banyak pendeta yang bergerak dibidang pelayanan ini. Menurut Waney. kebanyakan takut terjerumus. Wah, kalau begitu. Siapa lagi yang dapat menolong? Masalah lain yang cukup lama menghangat di kalangan mahasiswa adalah kumpul kebo. Hidup bersama sebelum menikah sudah terdengar sejak akhir tahun 70an. Belakangan ini rasanya tidak terlalu sering disoroti lagi oleh media massa. Tapi bukan berarti tidak lagi menjadi masalah. Kami mengangkatnya ke permukaan karena ini juga masalah kita, mahasiswa Kristen. Di lingkungan kita (baca: PMK),mungkin ini tidak menonjol. Di luar kita? “Kecenderungan hidup bersama sebelum menikah adalah tuntutan sosial dan Psikologi yang tumbuh dalam masyarakat kita di abad XX ini,” Pendeta Waney menguraikan. “Dari segi sosial, kita berada dalam suatu era yang mengerdilkan moral. Di pihak lain, rasa kebutuhan seksual menuntut kita secara psikologis. Akhirnya bila setiap hari diperhadapkan pada kondisi seperti itu, ya jebol juga!”

Kondisi seringkali menyebabkan runtuhnya pertahanan moral. Contohnya kehidupan kampus. Dalam radius satu kilometer, biasanya kampus dikelilingi rumah-rumah kos atau kontrakan mahasiswa. Di pihak lain ada 1001 soal yang menuntut aktivitas mahasiswa di lingkungan, barunya ini Soal akademik. Misalnya paper, yang digarap dalam kelompok, kebutuhrn sosial, misalnya Pergaulan;menciptakan kondisi ‘lampu kuning’ bagi mahasiswa: kalau tidak waspada, pertahanan moral kita bisa runtuh.

Akhir tahun lalu, seorang mahasiswi asal Sumatera yang kuliah di satu universitas swasta di Jakarta kedapatan meninggal di rumah kontrakannya. Menurut visum dokter, mahasiswi itu meninggal akibat penyakit jantung. Namun, bisik-bisik yang meluas di kampus mengatakan bahwa gadis ini hamil di luar nikah. Sebenarnya pacarnya mau bertanggung jawab. Tapi keadaan belum memungkinkan mereka menikah. Situasi demikian membuat gadis yang aktif di gereja ini, nekad menghilangkan nyawanya sendiri.

Di mana PMK? Sayang sekali bahwa PMK (baca:. Pribadi dalam PMK) adalah pihak terakhir yang mengetahui peristiwa ini. Seringkali kita memisahkan kebejatan moral dari persekutuan. Padahal, di situlah fungsi PMK sebenarnya. Nah, bagaimana PMK menangani soal free sex di kampus? “Menghadapi masalah ini tidak, cukup dengan agama,” kata alumnus Sekolah Tinggi Teologia Jakarta ini, “Kita harus melihatnya dari pendekatan sosial dan psikologi juga. Kalau langsung disodori Alkitab, pasti kandas. Habis, semua juga tahu bahwa free-sex itu dosa. Iagipula, freesex bukan barang baru, sudah ada sejak zaman primitif dulu.” Akhirnya, sebagaimana homosksual di atas, kitalah yang harus menghindarkan diri dari kondisi yang memungkinkan kita jatuh. Untuk itu, modal kita, hanyalah kemauan. Tapi, betapa sulitnya memaksakan kemauan yang tidak sesuai dengan kehendak daging!

Dua kasus sudah dibahas menurut kacamata psikiatri dan teolog. Sekarang, apa komentar dosen soal dekadensi moral? “Sebenarnya,kebejatan moral adalah perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan dalam suatu bidans. Misalnya bidang seks, politik, atau ‘abnoimalitas yang normal,” demikian diungkapkan Arif Gosita. Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jurusan Viktimologi. “Perkelahian di antara tua-tua di gereja pun perbuatan mereka salah. Bolehkah mereka menikah? Nggak  kan? Jadi, siapa yang mendampingl mereka? Gereja? Malah mereka dikucilkan oleh gereja! Dalam hal ini, siapa yang salah jadinya?” menurut saya adalah kebejatan. Hanya, masyarakat biasanya mengaitkan kebejatan moral itu dengan urusan seks.” Arif Gosita menilai, soal dekadensi moral sebenarnya adalah masalah manusia yang bersifat makro-integral. Menanggapinya pun tidak boleh hanya dengan satu sisi. Tapi harus memperhatikan aspek fisik, mental, dan sosial manusia itu. “Kita harus hati-hati jika menuduh orang lain bejat. Jangan-jangan kita sendiri yang bejat,” ujar ayah dari dua putra-putri ini. “Sekarang coba perhatikan. Bagaimana sikap kita terhadap seorang homoseksual? Kita tahu perbuatan mereka salah. Bolehkah mereka menikah? Ngga kan? Jadi, siapa yang mendampingi mereka? Gereja? Malah mereka dikuncikan oleh gereja! Dalam hal ini, siapa yang salah jadinya? Menurut Arif Gosita, yang mengutip omisi delik dan komisi delik Ilmu Pidana, kalau kita tahu orang lain salah dan kita diam saja. Kita juga ikut salah. Kalau kita melihat orang mencuri, kita diam saja. Kan artinya kita juga ikut mencuri.

Soal yang berkaitan dengan moral yang pernah ramai dibicarakan media massa ialah pelajar yang menggoda om-om (perek) atau kenakalan remaja dalam bentuk perkelahian, narkotika, atau alkohol. Kasus serupa bukan hal baru di kampus kita. Rasanya klise jika kita menyalahkan orangtua atau menjadikan situasi broken home sebagai penyebabnya. Agama dalam pengertian moral juga tidak tepat jika dijadikan kambing-hitam. Berkaitan dengan kasus-kasus tersebut Arif Gosita mengatakan, “Itulah perlunya gereja atau persekutuan. Mahasiswa atau pelajar dengan kasus demikian pasti punya masalah yang melatarbelakangi perbuatannya. Jangan terlalu cepat menilai orang. Mereka perlu pendamping untuk menyelesaikan persoalannya. Sekarang, siapkah kita menjadi konselor?”

Masalah moral tidak lepas dari kasih dan doa. Arif mengutip Matius 22 : 37-39 sebagai landasannya. Kita harus mengasihi manusia seperti mengasihi diri kita sendiri. Barulah kita dapat melayani orang lain, sesama kita. Untuk memahami masalah sosial rasanya begitu. Kompleksitasnya saling berkaitan. Penyebab yang satu membuat masalah lain timbul. Terus demikian. Jadi PMK memang nggak gampang. Selain membina diri, kita harus membina orang lain juga, rohani dan mental; mau tidak mau.**

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *