Eva Kristiaman:
Perhatian dan Pembinaan Gereja Bagi Orang yang Membujang

Sepintas apabila kita membaca Kejadian 1:28 dan 2:18,24, kita dapat memiliki pemahaman bahwa kodrat dasar manusia adalah menikah dan beranak-cucu. Pemahaman yang demikian seolah-olah mendukung pandangan dan pemahaman yang dimiliki oleh masyarakat, yaitu bahwa cara hidup menikah adalah satu-satunya cara hidup yang baik, absah, normal, dan ideal; sehingga dapat mengakibatkan kita memiliki pemahaman bahwa cara hidup membujang bukan cara hidup yang baik, absah, normal dan ideal. Padahal apabila ayat-ayat tersebut diteliti lebih lanjut, tampak dengan jelas bahwa sebenarnya ayat-ayat tersebut merupakan penjelasan dan pemahaman mengenai tugas, tanggung jawab, dan kesatuan suami istri, serta keturunan yang mereka peroleh sebagai berkat Tuhan dalam pernikahan. Sehingga menjadi jelas bahwa ketiga ayat tersebut sama sekali bukan ayat-ayat yang memberi penjelasan dan pemahaman mengenai cara hidup membujang. Juga bukan merupakan ayat-ayat yang memberi penilaian mengenai baik tidaknya, absah tidaknya, normal tidaknya, ideal tidaknya cara hidup membujang.

Selain itu, dari Kejadian 1:27 dan 1:31 diperoleh keterangan dan pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan, masing-masing adalah ciptaan Allah yang mulia, lengkap dan utuh: bahkan sejak sebelum mereka bersatu menjadi satu daging dan memiliki keturunan. Dengan demikian, pemahaman teologis yang menyatakan bahwa orang yang tidak menikah adalah tidak utuh dan pernikahan merupakan satu-satunya cara hidup yang baik, normal, dan absah menurut Alkitab; adalah tidak tepat dan tidak pernah dijumpai dalam Alkitab. Oleh sebab itu pemahaman teologis yang demikian sudah jelas bukan merupakan pemahaman teologis yang seharusnya ada, dianut, dimiliki, diajarkan, dan diterapkan oleh gereja.

Pemahaman yang menyatakan bahwa orang yang tidak menikah adalah orang yang tidak utuh dan cara hidup menikah adalah satu-satunya hidup normal, absal dan ideal; salin dapat disebabkan oleh karena pemahaman yang keliru atau tidak tepat terhadap Kejadian 1:28 dan 2:18,24; juga dapat disebabkan oleh karena pengaruh yang kuat dari pandangan yang selama ini ada dan hidup serta diterapkan di tengah masyarakat umum. Hal yang sedemikian dapat dimengerti, oleh karena gereja memang tidak dapat lepas dari lingkungan di mana ia berada.

Pandangan yang ada dan hidup di tengah masyarakat tersebut, bahkan telah menjadi semacam “norma” atau “hukum” yang tidak tertulis namun ada, hidup, diakui, diterapkan, dan berpengaruh kuat dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman yang sedemikian melahirkan reaksi negatif dari keluarga dan masyarakat, terhadap orang yang membujang, berupa: sikap-sikap, penilaian-penilaian, perlakuan-perlakuan, serta julukan-julukan, yang menyinggung, menyakiti dan melukai mereka yang hidup membujang.

Reaksi semacam ini menimbulkan tekanan psikologis yang sangat besar dan berat, yang harus dihadapi dan ditanggulangi oleh mereka yang hidup membujang. Hasil penelitian dua orang pakar Psikologi Perkembangan yaitu Erikson dan Levinson, menyatakan bahwa ternyata usia 30 tahun tidak mudah untuk dihadapi dan dilalui oleh setiap orang dewasa. Terlebih bagi mereka yang hidup membujang, karena mereka menghadapi tekanan psikologis yang jauh lebih besar dan lebih sulit untuk dihadapi dan diatasi, baik yang berasal dari dirinya, maupun yang berasal dari keluarga dan masyarakat.

Tekanan-tekanan tersebut menimbulkan stres. Selain stres, masalah-masalah psikologis yang besar dan berat yang mereka hadapi pada umumnya adalah kesepian dan kesendirian. Kadang-kadang mereka merasa ditolak karena tidak mendapat kehangatan, penerimaan dari keluarga, masyarakat maupun warga gereja.

Selain masalah-masalah, mereka juga memiliki kebutuhan-kebutuhan yang perlu diisi dan dipenuhi agar mereka dapat mengaktualisasikan diri. Kebutuhan-kebutuhan tersebut antara lain: perhatian, rasa aman, kehangatan penerimaan, dimengerti, dan teman dengan siapa mereka dapat bergaul dan berkomunikasi. Mereka juga membutuhkan wadah di mana mereka dapat dibangun dan membangun. Mereka membutuhkan penghargaan dan pengakuan bahwa mereka ada dan berharga. Mereka membutuhkan kegiatan di mana mereka dapat memberi dan diberi, menyalurkan dan mengembangkan bakat-bakat, potensi, serta kelebihan dan keuntungan yang mereka miliki. Mereka membutuhkan perhatian dan pembinaan, tetapi mereka tidak mendapatkannya baik dalam keluarga maupun masyarakat. Apakah mereka mendapatkannya dari gereja di mana mereka menjadi warganya selama ini?

Ternyata selama ini mereka juga tidak pernah mendapatkan perhatian dan pembinaan dari gereja, oleh karena selama ini orientasi kegiatan-kegiatan gereja ditujukan pada mereka yang menikah dan keluarga. Rutinitas dan kesibukan gereja semakin menenggelamkan apa yang dirasakan sebagai masalah oleh warga gereja yang membujang namun tidak dapat, tidak tahu, bagaimana, dan kepada siapa, harus menyampaikannya…, lagi pula hal tersebut tidak terasa sebagai masalah, oleh karena sebagian besar warga gereja yang dewasa adalah orang-orang yang menikah dan berkeluarga. Bukan hanya itu, mereka juga mendapat reaksi-reaksi negatif dari sesama warga gereja yang memiliki pemahaman yang tidak tepat mengenai orang yang hidup membujang maupun cara hidup membujang. Oleh karena gereja ternyata juga tidak pernah mengajarkan bagaimana pandangan dan pemahaman teologis mengenai hal tersebut menurut Alkitab.

Memang tidak ada ayat atau bagian Alkitab, Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, yang membahas secara khusus mengenai cara hidup membujang. Akan tetapi dari beberapa ayat seperti Matius 19:10-12 dan beberapa ayat dalam 1 Korintus 7 – yang sekalipun berada dalam konteks yang berbeda- namun memberi penjelasan mengenai orang yang hidup membujang secara sukarela agar ia dapat melayani Tuhan dengan leluasa (selibat); kita memperoleh pemahaman mengenai cara hidup membujang seperti berikut:

  1. Matius 19:10-12

Ketiga ayat ini berada dalam perikop yang membahas mengenai perceraian (Mat. 19:1-12). Dalam kebudayaan masyarakat Yahudi pada masa itu, ada dua pandangan mengenai perceraian yang dikenal baik oleh masyarakat Yahudi, yang berasal dari dua sekolah rabbi Yahudi, yaitu Shammai dan Hillel. Shammai dan para pengikutnya berpendapat bahwa hanya karena perzinahan seseorang boleh menceraikan istrinya. Sedangkan Hillel dan para pengikutnya berpendapat bahwa seseorang boleh menceraikan istrinya karena alasan apa pun. Dengan latar belakang inilah perbincangan antara murid-murid dengan Yesus ini berlangsung. Dalam ayat 3, orang-orang Farisi mengemukakan pandangan yang banyak dianut oleh masyarakat Yahudi pada waktu itu, yaitu pandangan Hillel, dalam bentuk pertanyaan kepada Yesus, untuk mencobai Dia. Namun dalam ayat 4-6, Yesus menegaskan bahwa sebenarnya sejak semula, yaitu sejak kesatuan suami istri yang pertama kali, Allah tidak pernah menghendaki dan tidak pernah mengizinkan adanya perceraian oleh sebab apa pun. Dengan kata lain, yang Allah kehendaki untuk terjadi adalah kesatuan dalam pernikahan dan bukan perceraian. Menanggapi apa yang diutarakan oleh orang-orang Farisi dalam ayat 7, dalam ayat 8 Yesus menyatakan bahwa kalaupun kemudian Musa mengizinkan adanya perceraian, hal tersebut semata-mata disebabkan oleh ketegaran hati umat Israel pada waktu itu. Akan tetapi, dalam ayat 9 Yesus menambahkan bahwa seseorang yang menceraikan istrinya oleh sebab lain selain zinah, tidak boleh kawin lagi oleh karena apabila ia kawin lagi, ia berzinah. Ayat 10 merupakan tanggapan yang diutarakan para murid setelah mereka mengikuti dan mendengarkan perbincangan antara orang-orang Farisi dengan Yesus (ayat 3-9). Menurut para murid, ucapan Yesus tersebut terlampau keras. Mereka berpendapat, apabila ternyata dalam suatu pernikahan seseorang sedemikian sulit untuk menceraikan istrinya maupun untuk kemudian kawin lagi, seperti yang dikatakan oleh Yesus, adalah lebih baik apabila ia jangan menikah; atau dengan kata lain, lebih baik seseorang hidup membujang daripada ia menikah tetapi sangat sulit untuk atau tidak dapat menceraikan istrinya maupun kawin lagi. Ayat 11 dan 12 merupakan tanggapan serta penjelasan yang diberikan oleh Yesus sehubungan dengan apa yang dikatakan oleh murid-murid-Nya dalam ayat 10. Ada hubungan yang jelas antara ayat 11 dengan ayat 12, oleh karena sebenarnya ayat 11 dan 12 dihubungkan dengan kata “karena” (terjemahan LAI meniadakan kata “karena” tersebut). Dalam ayat 11, Yesus menerangkan bahwa hanya sebagian orang saja (“tidak semua orang”) yang sungguh-sungguh dapat memahami dan mengamini kata-kata Yesus dalam ayat 12; yaitu hanya orang-orang yang oleh Tuhan diberi kemampuan untuk dapat mengerti. Dengan kata lain, hanya orang-orang yang oleh Tuhan diberi kemampuan untuk dapat mengerti sajalah, yang sungguh-sungguh dapat mengerti kata-kata Yesus dalam ayat 12 dengan baik, benar dan tepat. Ayat 12 disuguhkan sebagai teka-teki oleh Yesus, yang terjemahan tepatnya sebagai berikut:

“Ada orang kebiri yang memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang kebiri yang dikebirikan oleh orang lain, dan ada orang kebiri yang mengebiri dirinya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.” (Matius 19:12)

Makna teka-teki dalam ayat 12 tersebut di atas, ada tiga. Yang pertama dan yang kedua merupakan penjelasan secara harafiah, yaitu ada orang yang tidak dapat kawin dan menghasilkan keturunan karena dilahirkan demikian (cacat fisik), atau karena dijadikan demikian (dikebiri) oleh orang lain. Sedangkan yang ketiga merupakan kiasan, yang diterangkan oleh Theo Witkamp sebagai berikut:

“Kiasan ‘kebiri’ sebenarnya digunakan untuk melambangkan bahwa ada orang yang secara sukarela  membatalkan niatnya atas perkawinan, seksualitas, dan keturunan karena Kerajaan Allah…. Perkawinan, keluarga, seksualitas, dan semua ketertarikan dari kehidupan duniawi yang biasa, hanya mempunyai keberlakuan yang relatif jika berhadapan dengan Kerajaan Allah.” (Theo Witkamp, “’Kamu Akan Tertawa’: Humor dalam Wejangan Yesus”. Majalah Gema Duta Wacana, tahun 1993 No.45, p.48)

Dari uraian diatas, dapat diperoleh beberapa keterangan mengenai cara hidup membujang, sebagai berikut:

Pertama, ayat 11 dan 12 memberi keterangan bahwa ternyata ada sebab-sebab atau latar belakang tertentu yang menyebabkan seseorang untuk hidup membujang. Ada yang karena dipaksa oleh keadaan, yaitu: dilahirkan demikian (cacat fisik) atau dikebiri; ada juga yang karena pilihan, yaitu karena orang tersebut atas kehendaknya sendiri memilih untuk tidak menikah agar dapat melayani Tuhan dengan lebih leluasa (selibat).

Kedua, sebagian orang saja yang dapat menjalani hidup membujang, yaitu hanya orang yang oleh Tuhan diberi kemampuan untuk dapat mengerti sebab-sebab atau latar belakang tersebut di atas. Karena dibutuhkan proses dan waktu yang tidak singkat serta pergumulan yang sungguh-sungguh, agar pada akhirnya sebab-sebab atau latar belakang itu dapat diterima, dihadapi dan disyukuri.

Ketiga, bagi orang yang tidak diberi kemampuan oleh Tuhan untuk dapat mengerti, hidup membujang akan tetap tinggal sebagai misteri atau teka-teki.

Keempat, melalui ayat 11 dan 12, di mana Yesus telah mengoreksi pendapat yang keliru yang dikemukakan oleh para murid dalam ayat 10, dan meluruskannya; menjadi jelas bahwa hidup membujang tidaklah merupakan hidup yang lebih mudah atau lebih sulit daripada hidup menikah.

Dengan demikian diperoleh pemahaman bahwa keduanya, baik hidup membujang maupun hidup menikah, memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, kebahagiaan, pergumulan, serta tantangannya masing-masing; yang tidak bisa diperbandingkan satu dengan yang lain, oleh karena berbeda. Hal ini juga berarti bahwa hidup membujang maupun hidup menikah, keduanya sama-sama merupakan cara hidup yang baik dan berkenan di hadapan Allah. Jadi, jelaslah bahwa cara hidup membujang juga diterima dan diakui keberadaannya sebagai cara hidup yang absah, normal, baik dan positif.

 

1 Korintus 7

Masih dalam konteks mengenai perlunya jemaat di Korintus memiliki hidup yang benar dan kudus dihadapan Allah, mulai 1 Korintus 7 Paulus secara khusus membahas mengenai hal-hal yang jemaat Korintus tuliskan kepadanya (ayat 1). Dalam 1 Korintus 7 ini pokok masalah yang dibahas oleh Paulus adalah mengenai bagaimana seseorang harus berlaku dalam kehidupannya agar ia tetap dapat memiliki hidup yang benar dan kudus di hadapan Allah. Baik ia berada dalam keadaan belum pernah menikah, akan menikah, menikah, cerai hidup atau pun mati. Sebagai jejaka, gadis, tunangan, suami, istri, janda, atau duda; baik beristrikan atau bersuamikan seseorang yang beriman maupun yang tidak beriman, dalam keadaan bersunat atau tidak bersunat; waktu ia dipanggil Allah. Menurut Paulus, hidup menikah maupun hidup membujang keduanya baik. Hal ini jelas tampak dari kata “baik” atau “lebih baik” yang digunakan Paulus pada keduanya. Dalam ayat 6 dan 35, Paulus menyatakan bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih cara hidup yang paling tepat bagi dirinya. Untuk itu ia memberi beberapa pertimbangan, yakni:

Pertama, mengingat akan adanya bahaya percabulan (ayat 2), maka apabila seseorang tidak dapat menguasai hawa nafsunya (ayat 9), ia lebih baik menikah. Kedua, mengingat singkatnya waktu (ayat 29), yaitu dalam waktu darurat sekarang (ayat 26), maka apabila seseorang ingin melayani Tuhan dengan tanpa gangguan (ayat 35) tanpa ikatan (ayat 27) dan 39a) dan tanpa kesusahan badani (ayat 28), serta perhatiannya tidak terbagi-bagi (ayat 32b-34), ia lebih baik hidup membujang.

Namun Paulus menegaskan khususnya dalam ayat 26 dan ayat 29-35, mengingat kedatangan Yesus yang kedua kalinya sudah semakin dekat, waktu yang ada sedemikian singkat, genting, dan pentingnya, serta sangat berharga; adalah lebih baik apabila para gadis tidak menikah dan para janda tidak menikah lagi, agar dapat menggunakan waktu yang ada untuk melakukan apa yang benar dan baik; memusatkan perhatian pada perkara Tuhan. Paulus juga menasehatkan hal yang sama kepada para jejaka dalam ayat 36-38. Bahkan dalam ayat 40, Paulus menggambarkan bahwa seseorang yang tidak menikah (lagi), “ia lebih berbahagia”.

Dari uraian Paulus di atas, dapat diperoleh keterangan sebagai berikut:

  1. Ternyata cara hidup membujang dipandang sebagai suatu cara hidup yang positif dan baik bagi orang percaya, bahkan merupakan cara hidup yang tepat menurut Paulus, menjelang kedatangan Yesus yang kedua kalinya, yang waktunya semakin dekat.
  2. Paulus menyampaikan pandangannya tersebut kepada jemaat Korintus. Baik melalui pengajaran yang diberikannya kepada jemaat Korintus secara keseluruhan (yaitu melalui suratnya kepada jemaat Korintus), maupun melalui anjuran atau nasehat yang berulang kali ia tujukan kepada anggota jemaat Korintus yang belum menikah.
  3. Paulus menganjurkan kepada mereka untuk memilih hidup membujang supaya dapat memusatkan perhatian pada perkara Tuhan dan bagaimana Tuhan berkenan kepadanya (ayat 32b), serta dapat melakukan apa yang benar dan baik, juga melayani Tuhan dengan tanpa gangguan (ayat 35). Tetapi anjuran ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar memiliki penguasaan diri, khususnya atas dorongan seks yang dimilikinya (ayat 9 dan 37); dan hal tersebut dimungkinkan oleh karena bagi Paulus hidup membujang merupakan karunia yang khas yang diberikan oleh Allah kepada seseorang (ayat 7). Dengan demikian, hidup membujang yang dimaksud oleh Paulus adalah hidup membujang untuk seterusnya (selibat), yaitu hidup membujang yang dijalaninya pada saat itu.
  4. Sedangkan kepada mereka yang menerima karunia tersebut di atas, Paulus menyatakan bahwa kepada mereka diberi karunia yang khas yang lain, kepada mereka Paulus menasihatkan dan menganjurkan untuk menikah daripada hangus karena hawa nafsu (ayat 7-9)

Dengan demikian diperoleh pemahaman bahwa selain cara hidup menikah, cara hidup membujang merupakan suatu alternatif yang baik, positif, dan diterima. Pandangan tersebut perlu untuk diajarkan kepada jemaat, sehingga menjadi milik jemaat. Dengan dimilikinya pemahaman ini oleh jemaat secara keseluruhan, maka perhatian dan pembinaan bagi anggota jemaat yang membujang dapat dilangsungkan.

Gereja perlu memberi perhatian dan pembinaan bagi warganya yang hidup membujang, bukan hanya oleh karena kelebihan-kelebihan yang mereka miliki, ataupun karena kebutuhan mereka akan perhatian dan pembinaan gereja saja; terlebih dari itu semua adalah karena Allah mengasihi, menerima, menghargai, dan memakai anak-anak-Nya yang hidup membujang, sama seperti Ia juga mengasihi, menerima, menghargai dan memakai anak-anak-Nya yang hidup menikah, keduanya merupakan cara hidup yang dipandang baik oleh Allah, yang melaluinya nama Allah dipermuliakan.

Justru karena gereja tidak bisa lepas dari lingkungan di mana ia berada, gereja dipanggil untuk menjadi “garam dan terang” dunia, untuk memberi pengaruh yang kuat dan nyata kepada masyarakat di mana ia berada. Dengan memiliki pemahaman teologis yang benar dan tepat mengenai cara hidup membujang, serta mengajarkannya kepada warga gereja yang menikah maupun yang membujang. Juga dengan memberi perhatian kepada warga gereja yang membujang, secara langsung maupun tidak langsung gereja telah menjalankan panggilannya tersebut.

Gereja dipanggil untuk menggembalakan kawanan domba yang dipercayakan oleh Tuhan kepadanya. Dengan memberi perhatian dan pembinaan bagi warga gereja yang membujang, maka gereja meneladani Kristus Sang Gembala Yang Baik dan melaksanakan tugas dan panggilannya sebagai gembala yang baik. Karena dengan mencari dan menemukan yang hilang, membawa pulang yang tersesat, membalut yang luka, mengobati yang sakit, menguatkan yang lemah, dan melindungi yang gemuk dan kuat; gereja telah menggembalakan mereka sebagaimana seharusnya (lihat Yeh.34; Yoh. 10:1-18; Maz. 23).

Dengan memberi perhatian dan pembinaan bagi warga gereja yang membujang yang selama ini merupakan anggota tubuh Kristus yang terabaikan, terlupakan, luput dari perhatian bahkan hilang; maka anggota tubuh Kristus ini dikembalikan pada tempatnya bersama-sama anggota-anggota tubuh Kristus yang lain. Menerima perhatian dan pembinaan yang sama besarnya dengan perhatian dan pembinaan yang selama ini telah diberikan kepada warga gereja yang lain. Dengan demikian maka seluruh anggota tubuh Kristus disatukan dan lengkap.

————————————

Penulis adalah alumnus Universitas Kristen Duta Wacana Fakultas Theologia. Sekarang ini menjadi Tenaga Kategorial Komisi Anak di GKI Jatim “Emaus” Surabaya.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *