Yulius Tandyanto:
Candu

Die Religion […] ist das Opium des Volks,” tulis Karl Marx dalam kata pengantar buku Tentang Kritik atas Filsafat Hukum Hegel (1844). Dalam bahasa kita, potongan pernyataan Marx ini barangkali terdengar kontroversial, tetapi juga memikat: Agama adalah suatu candu bagi masyarakat.

Pasalnya, bagi sebagian kita, agama adalah hal yang penting—jika bukan yang terpenting. Sejak belia, seorang anak sudah diajarkan tentang berbagai ritual keagamaan: sembahyang, melafalkan kitab suci, dan memperingati hari-hari suci. Maka, tidaklah mengherankan apabila sang anak berusaha menjawab segala pertanyaannya berdasarkan wawasan keagamaan yang ia miliki.

Meski demikian, tidak semua pertanyaan dapat dijawab dengan tuntas. Ada kalanya kebimbangan menggelayut di sudut benak, seperti: mengapa ada penderitaan di dunia ini? Hati kecilnya tidak puas dengan jawaban yang telah disediakan. Ia mengharapkan penjelasan yang lain. Sayang, kita memang tidak betah berlama-lama dalam ketidakpastian dan ingin segera melupakannya dengan sebuah kepastian.

Di sinilah sang ahli agama mengemban mandat mahapenting. Ia mewartakan berbagai pemahaman agamawi yang sistematis, canggih, dan beraroma apologetis tentunya. Konsep tentang “dosa” dan “surga” segera menjadi kunci hidup bahagia—dan abadi. Pemahaman tentang dosa membuat Anda dan saya “memaklumi” segala ingar-bingar dunia yang fana. Dan pengertian mengenai surga memberikan “landasan” atas pertanyaan mengapa kita harus berakhlak religius di dunia ini.

Dengan bekal doktrin-doktrin seperti itulah kita seolah-olah menjadi tuan atas kehidupan—atau setidaknya dapat memaknai hidup. Tanpa agama, kita mengalami disorientasi. Dan semakin berat penderitaan hidup, makin besar pula kebutuhan akan ekstase religius. Ibarat candu, agama sesungguhnya dibutuhkan untuk “mengebaskan” penderitaan yang tak terselami sehingga hidup masih bisa dilangsungkan—atau tidak memilih untuk bunuh diri.

Tragis? Boleh jadi demikian. Bak Oedipus yang berupaya mengangkangi takdir dengan kepandaiannya, demikian pula para pengkhotbah menggemakan surga dengan retorika-retorika teologis yang canggih dan menawan.

Segala ketidakpastian hidup cepat-cepat ditambal dengan keniscayaan beragam narasi suci.

Persis di situlah malapetaka dikandung. Sekejap saja kita terlena dengan doktrin-doktrin yang mengklaim diri paling benar, tiba-tiba malapetaka besar telah mengazab kita. Sama halnya dengan wabah mematikan yang menimpa negeri Thebes karena ulah Oedipus yang mengakali takdir dengan segenap kepandaiannya.

Dan di situlah tragedi menyingkapkan satu waham bijak nan tragis: kita cenderung tidak tahu bahwa sesungguhnya kita tidak tahu.

Barangkali di sinilah pengamatan jitu Marx, sang penggagas sosialisme ilmiah. Ia sadar akan dampak adiktif agama. Namun, ia jauh lebih sadar kalau agama dapat dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk berbagai kepentingan tertentu. Jika agama menjadi candu masyarakat, maka pertanyaannya adalah: siapakah para pengedar yang paling diuntungkan?

Seperti pegiat antinarkoba, Marx membongkar betapa bahayanya candu agama. Alih-alih membuai diri dengan agama, Marx menantang setiap orang untuk berani menghadapi kehidupan yang senyata-nyatanya secara bersama-sama. Penderitaan itu nyata, maka upaya untuk mengatasinya juga harus berupa tindakan nyata—bukan malah mencandu diri dengan suatu impian surga yang abstrak.

Sesungguhnya di sinilah peluang agama untuk menanggapi kritik tajam Marx dengan lebih mawas diri. Alih-alih mencela Marx sebagai seorang ateis, agama justru perlu mengolah sifat adiktifnya untuk memerdekakan manusia dari penindasan. Mungkin sebetulnya kita telah jemu mendengar bahwa sumber dari segala penindasan adalah ketidakadilan. Dan lagi, bukankah agama sudah terlalu fasih bicara tentang keadilan—dan tanpa sadar dirinya telah berlaku tidak adil atas nama agama?

Dalam teks yang sama di atas, Marx melanjutkan tulisannya, „Die Aufhebung der Religion als des illusorischen Glücks des Volkes ist die Forderung seines wirklichen Glücks.” Lebih kurang pernyataan Marx dapat dimengerti sebagai berikut: “Pelampauan agama sebagai kebahagiaan semu masyarakat adalah suatu syarat akan kebahagiaan yang sesungguhnya.”

Memang kata “Aufhebung” berarti penghilangan atau penghapusan. Akan tetapi lebih menarik memahami kata tersebut dalam konteks dialektika Hegelian yang mengandung arti penegasian dirinya sendiri untuk menuju satu tahap yang lebih tinggi. Dengan kata lain, agama perlu melampaui dirinya sendiri.

Agama seharusnya tidak lagi menjadi candu. Malahan, ia menjadi energi kritis untuk berjerih lelah melawan penindasan dan ketidakadilan yang sedang terjadi “di dunia sini”. Persoalannya, apakah kita sungguh-sungguh mau melepaskan diri dari nikmat candu surgawi “di dunia sana”? Nah, mungkin di sinilah Anda perlu memutuskan untuk menenggak pil merah atau pil biru seperti adegan dalam film The Matrix.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *