Yulius Tandyanto:
Negarawan

“Siapa pun yang rela untuk memimpin, haruslah diberikan upah baik itu dalam bentuk uang, kehormatan, atau hukuman jika ia menolaknya.”

—Sokrates

 

<p> 

B

arangkali, ujaran Sokrates di atas sekiranya masih mampu menggelitik telinga para negarawan masa kini. Tergelitik bukan karena harta dan kehormatan yang lazim diganjarkan pada negarawan. Namun, pertama-tama atas hukuman apabila ia menolak menjadi seorang negarawan.

Tentu pertanyaan yang tersirat adalah hukuman seperti apa yang dikenakan pada seorang negarawan apabila ia menolak menjadi negarawan. Bukankah di dalam iklim demokrasi siapa saja yang kompeten boleh menjadi ataupun tidak menjadi negarawan? Bahkan, setiap orang memiliki kesempatan yang setara untuk dipilih sesuai dengan konstitusi. Itu sebabnya kita merayakan kontestasi antarnegarawan demi memilih pemimpin yang sungguh-sungguh mengabdi pada rakyatnya.

Meski demikian, tampaknya tak seorang pun boleh menutup mata terhadap sebuah pandangan antropologis klasik yang menjadi denyut nadi rezim demokrasi hingga hari ini. Faktanya, ada suatu kenyataan alamiah bahwa tak seorang pun merelakan diri menjadi negarawan apabila tidak ada ganjaran harta dan kehormatan yang diberikan kepadanya.

Itulah situasi konkret di balik setiap drama politik. Sejatinya, negarawan adalah orang yang cerdas, cakap, dan etis dalam mengurus persoalan-persoalan rakyatnya. Namun, tanpa ganjaran harta dan kehormatan, tak seorang pun hendak bersusah-payah melakukan tugas kenegarawanan. Terkecuali, ia sungguh-sungguh sadar akan hukuman sang negarawan.

Sudah barang tentu seorang negarawan pertama-tama harus mengabdi pada rakyatnya. Presiden bertanggung jawab pada seluruh rakyat. Begitu pula para anggota DPR harus menyelesaikan persoalan-persoalan konkret rakyat yang diwakilkannya. Dan hanya para pecinta uanglah yang menjadikan lembaga DPR sebagai sarang korupsi. Dengan demikian, hakikat negarawan adalah pelayan rakyat.

“Apabila hakikat negarawan telah diemban dengan baik, harta dan nama baik adalah ganjaran yang selalu menyertainya,” demikianlah nasihat Sokrates kepada para calon negarawan polis Yunani. Ganjaran adalah fungsi sekunder yang diterima oleh negarawan setelah melakukan fungsi utamanya.

Pandangan Sokrates mengenai ganjaran bukanlah tanpa alasan. Pada kenyataannya memang banyak orang terpikat menjadi negarawan terutama karena iming-iming harta dan kehormatan. Dalam situasi demikian, harta dan kehormatan yang awalnya bersifat sekunder dialihfungsikan menjadi prioritas utama.

Maka, tidaklah mengherankan apabila negarawan gadungan sejatinya lebih mencintai uang daripada rakyatnya. Praktik korupsi merajalela, bahkan dilakukan tanpa perasaan bersalah terhadap rakyat. Lobi-lobi politik dalam skala kecil pun tak dapat dilepaskan dari perpindahan sejumlah uang.

Begitu pula negarawan palsu lainnya yang lebih mencintai kehormatan atau nama baik diri daripada rakyatnya. Baginya, nama baik dan harga diri merupakan kekuasaan untuk memanipulasi rakyatnya. Kebenaran ditutupi oleh rezim penuh citra, simbol-simbol, dan retorika yang membuai rakyat. Demokrasi menjadi arena pembodohan akibat rayuan gombal retorika.

Dalam konteks itulah degradasi negarawan menihilkan keadilan sosial. Di sana-sini berlakulah diktum Thrasymakhos, sang penantang Sokrates yang tak terpatahkan, “Keadilan adalah keuntungan bagi orang-orang yang lebih kuat.” Singkatnya, keadilan adalah niscaya milik elite penguasa belaka. Hukum senantiasa tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.

Dan dalam wajah demokrasi yang lain, degradasi negarawan juga sudah selalu melanggengkan ketidakadilan. Para negarawan rela menggadaikan hati nuraninya demi mendulang suara mayoritas. Dan ironisnya, suara masyarakat mayoritas sesungguhnya tidak sama dengan suara keadilan.

Sejatinya, tidak semua orang dapat menjadi negarawan. Seorang pengusaha tidak serta-merta dapat menjadi seorang negarawan. Begitu pula seorang jenderal tidak otomatis menjadi seorang negarawan. Namun, seorang negarawan dapat muncul dari tempat-tempat yang terpinggirkan selama ia memiliki potensi-potensi kenegarawanan.

Seorang negarawan tidak pernah dihasilkan dari sekolah-sekolah kepemimpinan yang serba instan. Ia membutuhkan proses pendidikan yang mensyaratkan pengalaman selama puluhan tahun. Seorang negarawan menempa diri untuk selalu berorientasi kepada kebaikan dan setia mengarahkan setiap orang pada keadilan. Itulah cinta seorang negarawan.

Karena itu, seorang negarawan sejati tidak pernah mengejar harta dan kehormatan sedikit pun. Bahkan, satu-satunya alasan seorang negarawan rela mengemban jabatan publik adalah agar rezim yang lebih buruk tidak berkuasa. Itulah jalan sunyi seorang negarawan.

Namun, seandainya seorang negarawan yang baik menolak memegang jabatan publik, maka ia dan segenap rakyat harus merelakan dirinya dipimpin oleh sebuah rezim yang buruk. Dan itulah hukuman sang negarawan. Karenanya, seorang negarawan sejati sesungguhnya terkutuk untuk memimpin rakyatnya.

Cinta, jalan sunyi, dan hukuman sang negarawan itulah yang memurnikan panggilan seorang negarawan sejati. Di tengah-tengah iklim demokrasi yang memungkinkan siapa saja untuk terpanggil menjadi mesias politik, seorang negarawan harus berani bersikap lurus dan wawas diri.

Ia perlu bersiasat menghadapi para pecinta uang dan pecinta kehormatan yang selalu bersolek sebagai negarawan. Tentu saja situasi yang buruk seharusnya menegaskan panggilan para negarawan-negarawan muda untuk setia mengemban tugasnya.

Sebagai contoh, kontestasi antarcalon pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi pada putaran ke-2 pilkada DKI Jakarta sesungguhnya dapat menjadi momentum pembuktian diri seorang negarawan sejati. Kedua belah pihak sama-sama memiliki peluang untuk mengartikulasikan hukuman sang negarawan dan menakarnya secara sportif.

Tentu saja dibutuhkan pertimbangan yang lebih dalam dari sekadar kalkulasi politik praktis dan retorika-retorika agama. Bahkan, kedua belah pihak sejatinya dituntut untuk berjarak dari ingar-bingar kontestasi demi menemukan diri dan panggilan suci seorang negarawan. Persis di situlah sikap adil seorang negarawan diuji.

Sebabnya, bagaimana mungkin seorang negarawan dapat berlaku adil pada rakyat apabila ia tak mampu bersikap adil terhadap dirinya sendiri? “Karena keadilan,” sebagaimana dinyatakan oleh Friedrich Nietzsche, “adalah keutamaan yang paling langka dari segala keutamaan.” Hanya negarawan sejatilah yang dapat melayani rakyat dan bertindak adil secara mumpuni.

Karena itu, barang siapa ia bertelinga, hendaklah ia mendengarnya.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *