Yulius Tandyanto:
Menggenapi Pemuridan

Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.

Matius 5: 17

Pembaca DIA yang budiman, saya bukanlah seorang teolog atau pun seorang yang menggeluti perihal pemuridan secara mendalam. Namun, perkenankanlah saya menyampaikan satu hal terkait pemuridan dan kebudayaan. Barangkali hal tersebut dapat dirumuskan dalam pertanyaan ini, “Mengapa orang Kristen (kekristenan) perlu peduli dengan pemuridan dan sistemnya?”

Salah satu jawaban yang mungkin diajukan adalah bahwa pemuridan juga merupakan bagian dari kreativitas (kebudayaan) kekristenan. Maksudnya, di satu sisi, pemuridan bersifat unik kendati diinspirasikan dari kitab suci yang sama. Di sisi lain, kemajuan kebudayaan (zaman) juga turut memutakhirkan sistem pemuridan. Berdasarkan dua maksud tersebut, ada satu perenungan yang menggelisahkan saya terkait pemuridan terkini, yakni: semakin ketat sistem pemuridan, semakin dangkal kualitas murid.

Toh, kegelisahan saya hendaknya jangan dibaca sebagai upaya untuk meniadakan sistem pemuridan. Sebaliknya, permenungan ini mungkin akan bermanfaat apabila diresapi sebagai suatu tawaran atau ajakan yang tulus untuk menghayati kembali (sistem) pemuridan—khususnya dalam lingkungan pelayanan yang menitikberatkan denyut nadi pelayanannya pada pemuridan.

Tanpa bermaksud untuk mendiskreditkan sistem pemuridan, saya mengimajinasikan tawaran tersebut seperti sikap Yesus sendiri terhadap hukum Musa dan Nabi-Nabi (Mat 5:17). Di tengah-tengah tradisi Yudaisme yang sangat kuat pada masa itu, Yesus tidak berupaya menghapuskan atau “meniadakan” (katalysai) hukum-hukum Yudaisme yang telah dihidupi oleh masyarakat Yahudi dari generasi ke generasi. Mengapa? Karena Yesus menyadari bahwa berbagai hukum dan tradisi tersebut pada dasarnya memiliki tujuan yang baik.

Persis pada kesadaran itulah, Yesus mengajak khalayak untuk memahami kembali tujuan asali dari setiap kewajiban dan larangan yang menjadi tuntunan hidup bagi orang-orang Yahudi. Mengapa demikian? Karena tidak jarang praktik-praktik hukum dan tradisi tersebut dijalankan dengan tidak tepat sehingga melanggengkan ketidakadilan. Dengan demikian, kata “menggenapi” (plērōsai) dalam teks tersebut tampaknya memiliki konotasi makna sebagai upaya untuk memenuhi tujuan atau hakikat asali dari hukum-hukum dan tradisi-tradisi Yudaisme.

Kembali pada pokok perenungan saya tentang pemuridan, boleh jadi ada praktik-praktik pemuridan saat ini yang cenderung “tidak adil”. Jenis ketidakadilan macam ini tersembunyi dan terselubung dalam jubah sistem pemuridan yang canggih. Misalnya, orientasi pada “profil murid” atau “tahapan pemuridan” yang sangat ketat. Tanpa sadar, kita menjadikan “profil murid” atau penerapan “tahapan pemuridan” sebagai tujuan atau hal yang paling penting. Profil maupun tahapan murid bukan lagi menjadi salah satu kreativitas, sarana, atau “kebudayaan” untuk menjadikan kita murid Tuhan. Dengan kata lain, ada suatu pergeseran halus dari “pemuridan yang berorientasi pada murid” menuju “pemuridan yang berorientasi pada profil murid (sistem pemuridan)” belaka.

Barangkali pergeseran atau penyimpangan dari tujuan asali merupakan sifat alamiah dan bersifat paradoks dalam setiap kebudayaan atau sistem yang kita ciptakan. Paradoks tersebut terungkap dengan baik dalam salah satu adagium klasik Latin: “Semakin tinggi hukum, semakin tinggi ketidakadilan (summum ius, summa iunaria).” Melalui adagium tersebut kita dihadapkan pada suatu situasi bahwa suatu sistem yang makin sempurna (ketat) cenderung menyempitkan atau mendangkalkan cakupan cita-cita idealnya. Oleh karena itu, adalah suatu keniscayaan bagi orang Kristen untuk “menggenapi” sistem pemuridan (dan kebudayaan).

Salah satu langkah awal untuk menggenapi pemuridan kita adalah dengan merenungkan kembali praktik pemuridan dalam keseharian hidup kita. Apakah praktik pemuridan yang kita lakukan sekadar berorientasi pada murid (manusianya) atau berorientasi pada sistem pemuridan belaka? Idealnya, kita perlu berorientasi pada keduanya. Itu sebabnya kita perlu menyikapi dinamika ketegangan antara dimensi manusia dan dimensi sistem pemuridan dengan bijak.

Dalam konteks yang lebih luas, perenungan serupa dapat pula diterapkan dalam berbagai artefak kebudayaan yang melingkupi kehidupan kita, seperti karya-karya intelektual, norma-norma adat, hingga berbagai kesenian (tari, ukir, tenun, batik, dan sebagainya). Dengan demikian, kita tidak sekadar mencap sesat/tidak sesat, berguna/tidak berguna, boleh/tidak boleh ketika kita membaca Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika) karya Tan Malaka, ketika kita menghayati ritual-ritual perkabungan adat Toraja, atau ketika kita menghargai seni ukir totem Papua. Malahan, kita perlu “menggenapi” kebaikan yang terkandung dalam artefak-artefak kebudayaan tersebut alih-alih bersikap acuh tak acuh. Pasalnya, seandainya kita sungguh-sungguh tidak peduli dengan kebudayaan kita sendiri, kita hanya akan melanggengkan “ketidakadilan” sebagaimana yang mungkin terjadi dalam (budaya) pemuridan.

Saya rasa karena pergulatan itulah orang Kristen perlu peduli dengan pemuridan dan kebudayaannya.

 

_____________________
Catatan penulis: Tulisan ini dimuat dalam INFO: Media Komunikasi dan Informasi Perkantas Jawa Barat, edisi 4/XV/Agustus-September 2015. Namun, untuk edisi ini penulis melakukan beberapa perubahan.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *