Victor Silaen:
Awan Menyikapi Serangan Terhadap Yesus

Sikap Seorang Awam

Nah, dalam kaitan itulah saya ingin menerangkan bahwa selama ini saya telah membaca beberapa buku maupun artikel yang menjelaskan keilahian Yesus, kemanusiaan Yesus, kematian Yesus, kebangkitan Yesus, dan isu-isu sejenis di seputar Yesus. Sejujurnya, saya tidak terganggu dengan tulisan-tulisan yang bersifat “menyerang” itu. Kenapa? Pertama, karena itu tadi, fokus perhatian saya bukan di bidang ini. Jadi, andai pun saya ingin meresponinya, saya merasa tak mungkin dapat membuat tulisan berbobot yang dapat menjadi penyeimbang terhadap tulisan-tulisan tersebut. Sedangkan untuk membuat tulisan yang “emosional”, yang isinya cuma mengimbau agar para penulis yang menggugat Yesus itu “bertobat” dan “tunduk pada Alkitab”, atau “back to the Bible”, saya sama sekali tak mau. Sebab, prinsip saya, tulisan harus dilawan dengan tulisan. Jadi, kalau tulisan para penggugat Yesus itu rasional (penuh argumentasi), maka saya pun harus mengimbanginya secara rasional.

Kedua, karena saya merasa iman saya sudah cukup dewasa. Maaf, saya tidak sedang menyombongkan diri. Saya sudah cukup lama berjumpaYesus secara pribadi, dan sudah cukup lama pula belajar mengenal Dia. Karena itulah, justru aneh jika saya mengatakan saya masih belum dewasa di dalam iman. Bukankah menyedihkan jika ada orang yang masih “bayi rohani” dan makanannya setiap hari masih “susu rohani”, padahal sudah lebih dari sepuluh tahun berjumpa Yesus secara pribadi dan belajar mengenal Dia?

Jadi, meskipun selama ini Yesus diserang dari sanasini, misalnya oleh buku terkenal The De Vinci Code (2003), atau oleh artikel-artikel seorang atau beberapa teolog yang meragukan kematian dan kebangkitan Yesus, so what gitu loh? Sebab bagi saya, yang penting adalah apa dan siapakah Yesus itu di mata (iman) saya. lni menyangkut sedikitnya dua hal. Pertama, soal pemahaman. Kedua, soal pengalaman. Terkait yang pertama, saya paham berdasarkan Alkitab bahwa Yesus adalah “jalan, kebenaran, dan kehidupan” untuk “sampai kepada Bapa di surga”. Bagi saya, inilah yang utama dan terutama harus melandasi pengenalan saya akan Yesus (selebihnya, antara lain, soal Yesus sebagai Pribadi kedua Allah Tritunggal, Allah sejati dan manusia sejati, yang dikandung oleh Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria, disalibkan mati dan bangkit dari kematian, dan naik ke surga). Lnilah landasan yang mantap. Di luar itu, ada banyak landasan yang baik, tapi tak satu pun yang benar-benar mantap. Saya bisa menyimpulkan demikian berdasarkan pembacaan saya selama ini atas buku-buku teologi dari berbagai aliran, bahkan luga dari buku-buku teologi non-Kristen.

Yesus adalah “jalan, kebenaran, dan kehidupan” untuk “sampai kepada Bapa di Surga”.

Semuanya baik dan semuanya harus diapresiasi sebagai buah pikiran orang-orang yang cerdas- kritis, tapi ya itu tadi: tidak ada kemantapan di dalamnya, tidak ada fondasi yang membuat iman saya merasa aman dan nyaman berdiri di atasnya.

Inilah yang saya maksud dengan pemahaman tadi. Belajarlah terus-menerus, bacalah lebih banyak dan lebih banyak lagi (jangan sebaliknya, yang dibaca cuma Alkitab saja). Lalu, bandingkanlah dengan apa yang dikatakan Alkitab tentang Yesus. Adakah yang lebih mantap dari Alkitab dalam hal “jalan, kebenaran, dan kehidupan” itu? Berpikirlah secara jernih dan kritis sebelum tiba pada kesimpulan. Artinya, janganlah emosional dan terburu-buru mengatakan “tidak ada”. Jikapun kita sudah pernah menyimpulkannya, lain waktu lakukanlah lagi, ulangi lagi, seraya terus-menerus belajar dan banyak membaca — termasuk dengar-dengaran atau berdiskusi dengan orang-orang yang cerdas-kritis. Tuiuannya, tak lain, agar pemahaman dan iman kita semakin dewasa.

Berikutnya, soal pengalaman. Menurut saya ini penting sekali. Hidup di dalam Yesus, dan berjalan bersama Yesus di sepanjang kehidupan ini, sangatlah pincang jika urusannya melulu soal kognisi. Melangkah bersamaYesus seharusnya juga diwarnai dengan emosi dan empiri (pengalaman). Kita harus mencintai Yesus (apalagi Yesus sendiri sudah terlebih dulu mencintai kita) dan merasakan cinta itu bersemai di dalam hati. Kita harus mengalami sendiri bagaimana rasanya tatkala sedang berduka dihibur- Nya, sedang lemah dikuatkan- ya, sedang kesulitan ditolong-Nya, sedang membutuhkan sesuatu diberikan-Nya, sedang panik atau bingung ditenangkan-Nya, dan lain sebagainya.

Dengan mengalami hal-hal seperti itu setiap hari, niscaya iman kita kepada-Nya tak mudah goyah, sekalipun banyak yang “menawan kita dengan filsafatnya yang kosong dan palsu” (Kol 2:8). Pertanyaannya, apakah kita sudah atau sedang mengalaminya di dalam kehidupan

ini? Kalau tidak, mungkin ada sesuatu yang kurang beres dalam relasi kita dengan Yesus. Memang, pengalaman kita tidak bisa dibanding-bandingkan dengan orang-orang lain. Artinya, kita boleh saja saling berbagi pengalaman dengan orang-orang lain, tapi jangan sekali-kali mempertanyakan Yesus perihal mengapa pengalaman kita tak seindah pengalaman orang-orang lain. Setiap kita unik di mata-Nya, karena itulah pengalaman kita berjalan serta-Nya pun niscaya unik. Yang pasti, semua yang kita alami bersama Dia niscaya “mendatangkan kebaikan sebab Dia turut bekerja di dalam segala sesuatu” (Roma 8:28).

Jadi, lalu bagaimana kita sebagai awam bersikap jika para penggugat Yesus itu ada di sekitar kita? Pertama, tak usah marah dan reaktif sampai-sampai kita mengirim email pribadi kepada para penggugat itu, padahal isinya cuma ajakan “bertobat” dan imbauan untuk “rendah hati dan mau tunduk pada Alkitab”. Cara-cara yang sejenis itu pun, janganlah dilakukan. Misalnya, karena kita tidak mampu mem buat tulisan berbobot yang dipublikasikan secara luas, lalu kita membuat tulisan emosional yang cuma ada di blog sendiri.

Kedua, bawalah para penggugat Yesus itu di dalam doa – baik secara pribadi maupun secara berkelompok. Sebab biasanya, orang-orang yang gemar menggugat Yesus justru patut dikasihani karena ada hal-hal yang kurang beres di dalam hidupnya. Atau, kalau mereka pendeta, kemungkinan besar mereka “kurang berhasil” sebagai pendeta. Ltulah sebabnya mereka berupaya meredam frustrasinya dengan cara membuat tulisan-tulisan provokatif demi menimbulkan perhatian orang banyak kepadanya.

Ketiga, berdiskusilah dengan teolog-teolog yang memang ahli di bidangnya tentang isu-isu yang digugat itu. Alih-alih hanya marah tapi tak tahu harus berbuat apa, kita niscaya semakin diperkaya melalui diskusi-diskusi yang rasional itu. Diskusi-diskusi tersebut tentu saja tidak harus berlangsung secara tatap-muka, karena toh kita bisa iuga melakukannya di ruang-ruang maya melalui internet.

—-Dituliskan oleh Victor Silaen, Dosen Fisipol UKI don STT Cipanas.

— Majalah Dia Edisi 1/ Tahun XXIII/2008

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *