Ferdi Toding Bunga:
Bekerja Sebagai Sebuah Persembahan

Jika diminta untuk bekerja sungguh-sungguh mungkin itu perintah yang biasa kita dengar. Tetapi kita diminta untuk melakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia, ini sesuatu yang tidak umum. Sebab bagaimana mungkin melakukan sesuatu seperti membersihkan rumah, jualan di pasar, mengajar di sekolah, atau menyuntik pasien di rumah sakit bisa disebut melakukan sesuatu buat Tuhan? Bukankah upah dari setiap pekerjaan kita datangnya dari manusia dan tidak langsung dari Tuhan? Dimana kaitan antara bekerja dan ibadah? Mungkin inilah beberapa pertanyaan yang sedang menari di benak Anda saat membaca Kolose 3:23. Wajarkah? Wajar! Karena itulah cara pandang yang mungkin kita pelajari dari tradisi dan lingkungan kita selama ini.

Bila berbicara tentang hubungan atara pekerjaan dan ibadah, maka cara pandang orang Yahudi terhadap pekerjaan dapat menjadi referensi yang baik untuk kita pelajari. Mengapa? Selain karena tradisi kekristenan sendiri merupakan sebagian dari warisan tradisi Yudaisme. Juga karena mereka memiliki etos kerja yang sangat positif. Pekerja keras, ulet, tekun, perhitungan, dan maksimal dalam menggunakan semua sumber daya. Oleh karena itu tidak heran jika mereka dapat mengubah padang gurun menjadi tanah yang subur, air laut menjadi air tawar, dan mengendalikan ekonomi dunia.

Di dalam tradisi orang Yahudi, bekeria bukanlah sesuatu yang biasa saja. Karena bekerja merupakan sesuatu yang berkaitan dengan ibadah mereka. Sesuatu yang rohani. Mengapa demkian? Dalam bahasa lbrani kata pekerjaan disebut sebagai melakha. Yang berasal dari kata malakha. Yang artinya utusan/ malaikat/ pesuruh. Itu sebabnya, beberapa pekerjaan dalam kehidupan mereka berkaitan dengan kata mallakh ini. Sebagai contoh pelaut (Yehzekiel 27:29; Yun 1:5) disebut malakh, sementara rata disebut melekh (Kej 36:31; Yun 3:6) dan ratu di sebut malkah (l Raja l0:l) Jadi semua pekerjaan mulai dari raja atau pemimpin maupun bawahan yang paling rendah tingkatannya, dianggap sebagai suatu penglihatan yang dari Tuhan. Dan ketidak-seriusan dalam suatu pekerjaan bukan hanya dianggap bersalah kepada sang tuan, tetapi terlebih kepada Tuhan. Sebaliknya jika bekerja dengan sungguh-sungguh, bukan hanya mendapat upah dari sang tuan, melainkan upah yang dari Tuhan.

Oleh karena itu, ketika rasul Paulus menuliskan surat penggembalaan kepada jemaat di Kolose, seharusnya pesan sang Rasul ini bukanlah hal yang baru bagi orang Yahudi di kota itu. Namun mengapa pesan ini perlu kembali digemakan oleh sang rasul? Karena jemaat yang ada di Kolose sedikit banyak sudah dipengaruhi oleh kebudayaan dan cara pandang orang Yunani. Orang Yunani termasuk dalam kelompok bangsa yang memilah-milah antara pekerjaan sekuler dan pekerjaan rohani. Dan mereka menganggap pekerjaan rohani lebih tinggi nilainya dari pekerjaan sekuler). Bahkan saat itu ada sebagian dari jemaat yang dulunya hamba tidak lagi bekerja dengan sungguh-sungguh kepada tuannya. Mereka menganggap bahwa dia dan tuannya sudah sama-sama orang percaya. Jadi bekerja “seadanya” saja bukan suatu masalah baginya. Apalagi jika bekerja kepada tuan yang belum percaya. Perintah untuk melakukan segala sesuatu sebagai suatu ibadah kepada Tuhan dianggap sebagai suatu yang tidak saling berkait. Yang penting statusnya sudah orang Kristen, sudah cukup. Bekerja ya buat hidup di dunia, sedangkan ibadah untuk kehidupan kekal.

Semangat atau mental bekerij “seadanya” memang terkadang dengan sadar atau tidak masih kita praktekkan dalam keseharian kita. Tidak jarang pula kita memilah-milah pekerjaan antara yang serius dengan yang sepele atau antara yang rohani dan sekuler. Semua bergantung kepada motivasi dibalik kegiatan itu. Jika ada keuntungan yang besar dibaliknya, kita akan sungguh-sungguh. Namun jika tidak ada imbalan yang setimpal, semangat kerjapun menjadi biasa saja. Jika ada bos kita serius, tetapi tidak ada bos, hmm main facebook!!

Merenungkan Kolose 3:23 ini betul-betul menjadi suatu momentum yang baik untuk kembali merenungkan keberadaan kita saat ini di hadapan Tuhan. Terutama dengan perihal bagaimana cara kita menjalankan semua aktivitas kita selama ini. Ketika rasul Paulus mengatakan bahwa “segala sesuatu” harus kita kerjakan dengan sungguh-sungguh. Itu berarti bahwa seharusnya tidak satupun aktivitas/pekerjaan yang boleh kita anggap remeh. Entah itu pekerjaan besar, entah itu pekerjaan kecil. Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus pun ia berpesan “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (l Kor l0: 3l). Jika perkara makan dan minum saja Tuhan meminta kita melaku kan nya dengan sungguh-sungguh, apalagi pekerjaan yang menyangkut kehidupan banyak orang.

Saya teringat dengan seorang dosen saya saat masih di seminari di Bandung. Kebetulan saat itu juga beliau menjabat sebagai dosen di suatu seminari di Amerika. Saat di Amerika, beliau sering mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dianggap “kecil”, seperti membersihkan toilet. Dan ketika mengerjakannya, beliau selalu membersihkannya dengan begitu sangat bersih. Sampai-sampai air yang ada di toilet itu pun (maaf) bisa diminum. Baginya, mempersiapkan toilet seharusnya dikerjakan sama seriusnya dengan ketika kita mempersiapkan pekerjaan yang lain. Ya, seperti mempersiapkan bahan untuk khotbah presentasi, atau seminar misalnya.

Pertanyaannya bagi kita adalah: Lalu mengapa? Mengapa kita harus melakukan semuanya seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia? Untuk menjawab hal ini maka terlebih dahulu saya mengajak kita kembali merenungkan arti dari ungkapan “mempersembahkan hidup sebagai suatu persembahan” seperti yang dituliskan Paulus dalam Rom l2:l-2. Ungkapan itu mengandung makna bahwa sesungguhnya setiap hal yang dilakukan oleh seseorang yang sudah ditebus oleh Tuhan adalah suatu yang sangat berharga! Dan semuanya akan menjadi suatu persembahan kepada Tuhan. Artinya bahwa ketika kita melakukan sesuatu yang baik maka itu akan diperhitungkan sebagai suatu persembahan yang baik. Sebaliknya jika kita melakukan sesuatu yang seadanya maka itu pun akan menjadi persembahan yang seadanya kepada Tuhan. Masalahnya, Tuhan tidak pernah meminta kita mempersernbahkan sesuatu seadanya saja. Tetapi dengan segenap hati, segenap kekuatan, dan segenap akal budi kita.

Mungkin Anda masih ingat apa bedanya sistem penghitungan dalam pertandingan bulutangkis sepuluh tahunan yang lalu dengan penghitungan masa kini. Kalau dulu ketika seorang pemain memukul bola dan masuk di daerah lawan maka pukulan itu belum tentu menghasilkan poin. Bisa saja poin tetapi bisa juga hanya sekedar service over. Tetapi dalam sistim penghitungan masa kini, jika kita memasukkan bola ke daerah lawan maka pukulan tersebut “pasti” akan menghasilkan poin. Oleh karena itu dalam sistim penghitungan saat ini, setiap pukulan itu sangatlah signifikan! Memasukkan bola berarti poin bagi kita, tetapi kegagalan berarti poin bagi lawan. Demikian jugalah dengan kehidupan kita saat ini. Setiap perbuatan yang baik yang kita lakukan sangat signifikan dan akan diperhitungkan sebagai suatu korban persembahan dihadapan Allah! Tubuh kita ini telah menjadi BaitAllah sekaligus sebagai mesbah kurban persersembahan bagi-Nya. Menakjubkan bukan?

Memang bukan hal yang mudah untuk menjadikan hidup ini sebagai suatu persembahan. Namun paling tidak prinsip ini memberikan motivasi yang lebih besar bagi kita untuk bisa lebih sungguh-sungguh, produktif, inovatif, dan lebih menikmati lagi pekerjaan kita masing-masing. Karena selalu ada kesadaran didalam hati, bahwa apapun yang kita lakukan akan diperhitungkan oleh Tuhan sebagai suatu persembahan. Jika kita bekerja untuk manusia, maka kita hanya akan menerima upah dari manusia. Tetapi ketika kita bekerja seolah-olah untuk Tuhan maka upah kita bukan hanya berasal dari manusia. Namun juga (lebih berharga lagi) dari Tuhan. Semoga Roh Tuhan memampukan kita untuk menjadi berkat dimanapun Tuhan menempatkan kita. Segala kemuliaan hanya bagi Tuhan!

 

——-Dituliskan oleh Ferdi Toding Bunga Alumni STT Telkom Bandung don STT Bandung Pendeta di GKY Muoro Boru

— Majalah Dia Edisi 3/ Tahun XXIII/2009

 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *