Herlianto:
Perbedaan Komunitas Kristen dengan Komunitas Komunis

Lebih dari seabad yang lalu, Karl Marx menerbitkan bukunya yang menggeparkan berjudul Comunnist Manifesto dan Das Kapital yang menjadi kitab suci gerakan internasional yang kemudian dikenal sebagai komunisme. Yang menarik dari semua itu adalah bahwa Karl Marx seorang Yahudi yang kemudia beragama Kristene (Protestan), dikenal dengan ucapannya yang menggeparkan, yang berbunyi Agama adalah candu bagi masyarakat.

Sekalipun pada dasawarsa terakhir pada abad ke-20 ini kita melihat memudarnya paham komunisme dihampir semua bagian di dunia, kritik dan tantangan Karl Marx masih tetap perlu menjadi bahan pemikiran umat Kristen. Komunisme tumbuh sebagai reaksi masyarakat kapitalisme yang mau tidak mau bermesraan dengan tradisi Kristenan pada saat itu. Pada saat itupun kita tetap melihat kondisi kapitalisme yang banyak dianut di negara-negara yang mayoritas penduduknya umat Kristen sehingga menumbuhkan komunitas Kristen yang tidak lagi mencerminkan komunitas mula-mula.

Ingat bahwa kita di Indonesia juga dijadikan kambing hitam karena ekonomi Indonesia dalam PJP-I yang di identikkan dengan peran tokoh-tokoh Kristen dianggap telah menghasilkan ekonimi Indonesia yang dihiasi jurang lebar anatar kaya miskin. Karena itu peran aktor pembangunan pada PJP-II lebih banyak melibatkan peran pihak lainnya.

Suatu pemikiran untuk melihat perbandingan kominitas Jemaat Mula-Mula dengan komunitas Komunis, dan membandingkan keduanya dengan komunitas Kristen yang dipraktekkan pada jemaat dan persekutuan masa kini adalah suatu usaha yang bukan saja bermanfaat, tetapi dapat menajadi cermin untuk melihat sampai dimana orang beriman itu:

            Apakah gunanya saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan bahwa ia mempunyai iman padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sahri-hari dan seorang dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!” tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikianlah juga halnya dengan iman:Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati (Yak 2:14-17).

 

Komunitas Kristen Mula-Mula

Melalui Alkitab Perjanjian Baru kita dapat melihat kehidupan komunitas Kristen murid-murid Yesus pada awalnya. Bila dalam kitab-kitab Injil kita melihat ajaran-ajaran Tuhan Yesus Kristus yang menjadi dasar kehidupan komunitas Kristen, di kitab Kisah Para Rasul dan surat-surat para rasul kita melihat komunitas itu telah dipraktekan secara konsekuen sebagai pengejahwantahan ketaatan jemaat Kristen kepada ajaran Juru selamatnya.

Inti pengajaran Yesus berkisar kasih, yaitu kasih kepada Tuhan secara vertikal dan kasih kepada sesama manusia secara horizontal. Menarik sekali bahwa dalam memberi contoh soal kasih ini, Yesus justru membandingkan prilaku Iman dari orang Lewi dengan kelakuan orang Samaria yang menolong sesamanya secara sosial (Luk 10: 25-37). Tuhan Yesus berfirman bahwa mereka yang diberkati Tuhan adalah mereka yang menjadi berkat bagi sesamanya dan melaksanakan kasih secara konsekwen kepada sesama, khususnya yang berkekurangan. Dan bukan hanya itu, sebab mereka yang berbuat demikianlah yang layak masuk kedalam kerajaan Sorga! ( Mat 25:31-46).

Sejalan dengan kehidupan yang diberkati. Yesus Kristus dalam ajaran-Nya menekankan kehidupan yang berbuah sebagai bukti nyata sikap melakukan kehendak Tuhan (Mat 7:18-21). Ini hanya dimungkinkan bila seseorang benar-benar menghayati dan melakukan ajaran Yesus Kristus tentang hidup secukupnya seperti didalam Doa Bapa kami (Mat 6:11). Ajaran-ajaran Tuhan Yesus itu kemudian menjadi dasar kehidupan bermasyarakat komunitas Jemaat Kristen Mula-Mula yang kita lihat dalam kitab Kisah Para Rasul:

            Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak ada seorang pun yang berkata bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah kepunyaan sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan bersama. Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah. Sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan diantara merka, karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaan itu, dan hasil penjualannya itu mereka bawa dan mereka letakkan didepan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya. Demikian pula dengan Yusuf, yang oleh rasul-rasul disebut Barnabas, artinya penghiburan seorang Lewi dari Siprus. Ia menjual ladang miliknya. Lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya didepan kaki rasul-rasul (Kis 4:31-37).

Ciri-ciri jemaat yang hidup dapat disimpulkan melalui perikop diatas, yaitu:

  1. Jemaat hidup dalam iman akan kebangkitan Yesus:
  2. Jemaat hidup dalam pengajaran dan ketaatan akan firman Tuhan dan rasul-Nya:
  3. Jemaat hidup dalam kumpulan/persekutuan:
  4. Jemaat hidup dengan sehati dan sejiwa
  5. Jemaat yang kaya, hartanya menjadi berkat bagi orang lain.
  6. Jemaat hidup dalam kesejahteraan dan tidak ada seorang pun yang berkekurangan di anatara mereka;
  7. Para rasul memberikan contoh pengorbanan;
  8. Jemaat hidup dalam kasih karunia yang berlimpah-limpah.

Ciri komunitas Kristen Mula-Mula adalah sifatnya yang beriman vertikalis, dan sekalipun mempraktekkan kehidupan horisontalis. Praktek tersebut membuat tidak ada yang kurang dikalangan jemaat, dan itu hanya bisa terjadi kalau jemaat atau persekutuan itu rindu hidup seperti Kristus, yang merelakan hartanya untuk menolong jemaat yang berkekurangan seperti contoh yang diberikan secara konkrit oleh para rasul!

Dalam surat-suratnya, Rasul Paulus memperjelas kenyataan Jemaat Mula-Mula itu sebagai jemaat yang hidup, bercirikan kehidupan ekonomi yang seimbang tidak ada penonjolan dan jurang perbedaaan. Jadi tidak ada yang telalu kaya dan yang terlalu miskin, sebab yang kaya membagikan kelebihannya untuk menolong yang miskin:

Sebab kamu dibebani bukanlah supaya orang-orang lain mendapat keringanan, tetapi supaya ada kesimbangan. Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekuranga kamu, supaya ada keseimbangan. Seperti ada tertulis: “orang yang mengumpulkan banyak tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan” (II Kor 8:13-15).

      Rasul Yakobus pun mengkritik jemaat yang tidak menjalankan komunitas Kristen dengan konsekuen yang kaya menghina yang miskin (3:16) beriman tetapi tidak berbuat (2:14-17), mementingkan diri sendiri (3:16), persahabatan dengan dunia (4:3-4), menumpuk harta tetapi menahan upah buruh dan hidup bermewah-mewah dan berfoya-foya (5:1-6).

Mengapa kehidupan komunitas Kristen yang ideal ini tidak lagi terasa pada jemaat-jemaat di Eropa, sehingga Marx mencetuskan pemberontakannya terhadap agama ritus dan menumbuhkan ide komunisnya itu? Bila kita melihat jemaat-jemaat Kristen di Abad XIX ketika Karl Merx hidup,  dapat dimaklumi mengapa komunisme yang ingin mempraktekkan kehidupan komunitas Kristen Mula-Mula itu kemudian menjadi alternatif kehidupan komunitas baik di Eropa kemudian menyebar ke seluruh dunia.

Kekristenan masa itu banyak menjadi tawar karena resionalisme, matrealisme, dan sekularisme, dampaknya bahwa agama Kristen cenderung menjadi ritus tradisi tanpa roh, sekalipun dibaliknya kita melihat gereja-gereja yang dibangun dengan mewah dan megah! Gereja tidak banyak berbuat untuk menolong orang-orang miskin dan pap. Para buruh industri menderita saat itu. Jurang kaya miskin sangat menyolok antara mereka yang memperoleh keuntungan dari industrialisasi dan mereka yang menjadi korban industrialisasi, antara para aristrokat dan borjuis dengan para proletar. Para pemimpin agama banyak yang berkolusi dengan borjuis

Komunitas Komunis

Karl Marx lahir tahun 1818. Ia hidup dalam tradisi keluarga Yahudi yang banyak menjadi rabi dan kemudian menjadi Kristen (Protestan). Ia hidup dalam suasana rasionalisme liberal dan industrialisasi ketika manusia sedang “hangat-hangatnya menguasai alam”, tetapi sekaligus segolongan manusia mengasai hidup manusia lainnya. Rasionalisme, filsafar dialektis, dan idealisme Jerman saat itu banyak membentuk pemikiran Karl Marx.

Ia terpengaruh pemikiran Hegel yang terkenal dengan konsep dialektisnya mengenai idealisme anti agama yang menyatakan kesadaran diri (rasio) manusia dianggap sebagai allah, dan dari Ludwiq Feuerbarch ia mewarisi pandangan yang menganggap bahwa Tuhan hanyalah sebuah proyeksi dari kerinduan, keinginan, dan merupakan potensi manusia saja, jadi agama adalah ciptaan manusia. Pemikiran ini mungkin makin subur melihat kenyataan di sekelilingnya bahwa agama ternyata berfungsi salah dan memperburuk kehidupan manusia, ini menghasilkan ucapannya yang terkenal:

Agama adalah keluh-kesah mahluk yang tertindas, perasaan dunia yang tidak berhati, dan keadaan jiwa yang tidak berjiwa. Agama adalah candu (opium) bagi masyarakat. Agar rakyat sungguh bahagia, hendaklah agama dihapuskan, karena agama hanya kebahagiaaian semu.

Memang ibarat candu, agama resmi yang tradisional pada masa itu banyak berfungsi sekedar menjadi pelipur lara, menjadi obat keresahan jiwa dan pelarian, tetapi tidak mampu berbuat nyata dalam memperbaiki kehidupan masyarakat dimana jurang kaya dan miskin, borjuis dan proletariat makin melebar serta menghasilkan penderitaan bagi yang miskin, papa dan tertindas.

Melalui penulisannya, Marx mengemukakan gagasan untuk menolong mereka yang tertindas itu. Buku-bukunya yang terkenal seperti Communist Manifesto, Class Struggle, dan Critique of Political Economy yang kemudian dikembangkannya menjadi karya klasik Das Kapital. Persahabatannya yang abadi dengan Frederich Engels memperkuat gagasan-gagasan dalam bukunya, bahkan Engels menjadi editor banyak karya Marx

Marx menganut paham Matrealisme Historis yang beranggapan bahwa sejarah berjalan secara matrealistis, karena itu manusia harus mengubahnya. Menghadapi ketika masyarakat yang dirusak kelas-kelas sosial yang sangat mencolok perbedaannya, timbul pemikiran Marx yang tidak sabar yang menghasilkan perlu ditanggulangi dan dihancurkan melalui kekerasan (revolusi). Marx mengemukakan dalam pendahuluan buku The Communis Manifesto bahwa sejarah masyarakat adalah sejarah pertentangan kelas.

Gagasan-gagasan dalam bukunya itu ternyata disambung dimana-mana, terutama di negara-negara yang menganut kepitalisme dan feodalisme, sehingga kemudian menghasilkan revolusi-revolusi komunisme, dan menumbuhkan negara-negara komunis yang mempraktekkan komunitas-komunitas Komunis yang mempraktekkan kehidupan dan kepemilikan bersama.

Mereka yang melihat sejarah kehidupan Rusia yang sebelum tahun 1991 merupakan negara komunis terbesar dan RRC yang hingga kini masih menganut faham komunis, sekali pun sudah lebih lunak, akan memaklumi mengapa komunisme bisa tumbuh begitu luas. Negara Rusia dengan pemerintahan Czar membuka peluang kelas feodal dan tuan-tuan tanah, sedangkan agama Kristen Ortodox selama umurnya yang 1000 tahun di Rusia lebih banyak mengaminkan struktur masyarakat yang timpang daripada berusaha mentransformasikannya.

Situasi yang sama dapat dilihat dari RRC. Barang siapa yang melihat kuburan mewah raja-raja Ming, kemegahan The Forbidden City tempat reja berpesta pora dan mengisolasi diri dari rakyat, bahkan The Great Wall yang mengorbankan banyak jiwa rakyat jelata demi melindungi para penguasa, tentu saya memaklumi tindakan para pemuka komunis yang dipelopori oleh Mao Ze Dong itu. Mau tidak mau orang harus mengakui bahwa RRC telah berhasil mengurangi jurang kaya miskin. Seorang profesor mempunyai penghasilan yang tidak terlalu mencolok dibanding penghasilan petani dan dimana sebagian besar rakyatnya dapat hidup cukup dan menyewa rumah untuk keluarganya.

Agama-agama di Cina, termasuk agama Kristen, ternyata ikut melestarikan sistem masyarakat borjuis, dan sekali pun agama menaruh kritik berat bahwa kemajuan material di Cina cukup dinikmati secara kolektif, tetapi membiarkan masyarakat tanpa jiwa. Apa jawaban Pa Chin, pengarang Cina?

Memang masyarakat Kristen telah banyak menghasilkan orang-orang suci yang mengagumkan. Ini patut dipuji, tetapi segala kebejatan manusia tetap berlangsung terus. Apa sebabnya? Sebab tokoh-tokoh suci itu tidak mau berusaha memaksa orang menjadi baik. Kami tidak membutuhkan orang-orang suci, melainkan kami memaksa orang untuk berbuat baik. (Pa Chin, Blue Ants).

Sebenarnya salah satu pelopor Cina Modern yaitu Sun Yat Sen menjadi Kristen bukan saja tertarik karena Injil yang memberitakan pengampunan bagi orang-orang berdosa, tetapi lebih-lebih karena Injil itu menuntut keadilan dan persaudaraan, yang menjadi dasar bagi tiap-tiap bentuk negara demokrasi yang sehat. Sayang kenyataannya, kekristenan di Cina banyak yang tidak menjalankan aspek kedua dari Injil yang disebut oleh Sun Yat Sen itu. Penulis dapat mengaminkan kritik-kritik diatas, akrena ketika berkunjung ke Cina sempat mengikuti kebangkitan disebuah gereja bawah tanah di Beijing, dan menyaksikan bawa ibadahnya bersifat vertikal, sebagai obat keresahan jiwa, dan tidak ada hubungannya dengan perjuangan hidup manusia diatas tanah.

Komunitas Kristen VS Komunitas Komunis

Bila kebersamaan komunis menawarkan sesuatu yang kelihatannya baik daripada pertentangan kelas sosial dalam kapitalisme, mengapa masa kini komunisme mundur dan membuka diri pada masyarakat pasar bebas yang dipopulerkan kapitalisme? Sekali pun kelihatannya komunisme berusaha meniru Jemaat Kristen Mula-Mula, kelihatannya penafsiran Marx dan komunismenya tentang realita manusia, agama dan sejarah tidak utuh, yaitu menghilangkan dimensi vertikal. Akibat kita melihat bahwa manusia tetap kelaparan sekali pun kenyang secara kolektif.

Berbeda dengan komunisme, Jemaat Mula-Mula mempunyai keyakinan  vertikalis yang kuat yaitu iman akan Yesus yang bangkit. Karena itu umat Kristen percaya bahwa “Tuhan tetap bekerja dalam sejarah”. Sama dengan komunisme, Injil beranggapan bahwa tidak benar ada pertentangan kelas sosial yang mencolok dalam masyarakat, ini adalah dosa egoisme manusia yang perlu berubah. Hanya yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya?

Berdasarkan konsep Atheisme maka manusia ingin memaksa dirinya untuk mengubah sejarah dengan cara kekerasan (revolusi). Ini juga dilandasi sikap idealisme Jerman bahwa manusia adalah allah sehingga manusia berhak dan mampu mengubah sejarah, kenyataannya, dosa ada dalam diri manusia dan dosa itu perlu diluruskan dihadapan Allah, karena dosa bukan monopoli orang kaya atau pengusaha (artinya ada orang kaya dan pengusaha yang lebih baik dari orang miskin), tetapi dosa juga dimiliki orang miskin dan tertindas (artinya ada orang miskin yang lebih jahat dari orang kaya). Gerakan 30-S PKI mengingatkan kita bahwa bagaimanapun kekerasan bukanlah jalan pemecahan yang baik.

Injil tidak mempertentangkan kelas sosial, karena setiap manusia mempunyai talenta yang berbeda, tetapi Injil berkata bawa adalah salah bila manusia menganggap talenta itu miliknya pribadi sehingga ia bebas memenuhi nafsunya sendiri. Dalam Injil ditulis bahwa telenta adalah titipan Tuhan yang dikembalikan kepada Tuhan karena talenta adalah milik-Nya. Maka talenta harus menjadi alat penyalur berkat bagi sesama kita (Mat 25:14-40). Proses penyadaran ini dilakukan bukan dengan kekerasan, tetapi melalui pertobatan dan transformasi hati (II kor 5:17).

Memang harus diakui adanya ketidaksabaran komunisme, sebab proses transformasi hati tidaklah mudah terjadi. Maka, dapat dimaklumi mengapa komunisme ingin mengubah sejarah dan situasi ketimpangan kelas dengan kekerasab.

Yesus memanggil kita untuk bertobat dan mulai menjalankan kasih sebagai buah iman dan ketaatan kita akan kehendak Allah. Karena itu dalam Jemaat Mula-Mula kita melihat proses keseimbangan itu berjalan secara wajar tanpa paksaan. Jemaat Mula-Mula hidup dengan kasih karunia yang berlimpah karena kesukacitaan yang terjadi. Tidak ada pertentangan kelas sosial, yang kaya membagikan kelebihannya kepada yang kurang.

Kekerasan komunisme memang mendatangkan pemerataan secara kolektif, tetapi menghasilkan tekanan jiwa. Maka kembali ditunjukkan bahwa komunisme telah menjadi candu pula, yang menghasilkan banyak orang merasa bertindas.

 

Komunitas Kristen Kini

Sebenarnya sepanjang sejarah kekristenan tetap hadir the remnant few, sedikit sisa orang yang beriman dan taat. Misalnya, pada zaman Marx bangkit kesadaran kristiani dengan berbuat kasih secara sosial dalam bentuk komunitas Kristen seperti pada Jemaat Mula-Mula melalui tokoh seperti John Wesley (John Stott, Isu isu global) maupun William Booth yang membentuk Bala Keselamatan.

Lalu, bagaimana komunitas Kristen kini? Apakah masih sama dengan Komunitas Kristen Mula-Mula ataukah komunitas Komunis perlu menjadi cermin kembali bagi kita untuk melihat kekurangan kita?  Melihat komunitas Kristen kini, kita memang perlu prihatin, karena ada kecenderungan lebih mengarah pada situasi lain. Perlukah perubahan melalui revolusi fisik, ataukah sebaiknya kita memohon revolusi rohani melalui pertobatan dan perubahan oleh Roh Allah?

Kita melihat – terutama pengaruh ajaran kemakmuran – di kota-kota besar kecenderungan membangun gereja yang sangat besar, mahal, megah, dan mewah. Sama sekali tidak peduli akan kesenjangan sosial dengan gereja-gereja miskin maupun masyarakat miskin di sekitarnya. Kini telah terjadi perlombaan membangun gereja megah yang bukan hanya membutuhkan biaya milyaran rupiah, bahkan puluhan milyar rupiah.

Generasi Self (yang hanya memikirkan ‘Aku’) yang merasuki pula masyarakat barat sekunder tekah merasuk pula pada ajaran Kristen. Ajaran kemakmuran telah menyeret orang untuk membanggakan diri sebagai kelas sosial elit dan eksekutif, naik mobil mewah ratusan juta rupiah, persekutuan Kristen ekslusif di hotel mewah atau auditorium mahal dengan karcis puluhan ribu rupian per orang, jelas tidak mencerminkan komunitas Kristiani seperti yang dimaksudkan Tuhan kita, Yesus Kristus.

Kita di Indonesia menghadapi tantangan hidup bermasyarakat yang pincang. Di Indonesia masih terdapat kemiskinan kalori (sekala Sayogya) sebanyak 15% (27 juta penduduk) sedangkan kemiskinan komparatif yaitu kesenjangan kaya miskin yang terlalu lebar, mencapai dua pertiga jumlah penduduk Indonesia. Program pengentasan kemiskinan dan komunitas yang pincang menjadi program serius pemerintah RI. Sampai dimana kita menghadirkan komunitas Kristen yang menunjang?

Kita patut prihatin bahwa di balik tantangan yang ada di hadapan kita, kita melihat iklan-iklan KKR di media massa cenderung merupakan proses pembiusan, pembodohan, dan bersifat eskapis.

Sudah tiba saatnya kita berkain karung dan menaru abu di kepala kita dengan cara menaati firman Tuhan dan melakukan kehendak-Nya. Khotbah-khotbah harus mengajarkan Injil se-UTUH-nya yang tidak hanya memberitakan Injil yang vertikalis ( soal dosa, kebenaran, dan keselamatan jiwa), tetapi sekaligus harus memberitakan Injil yang horizontal (kasih dan keadilan). Ingat perintah Tuhan Yesus terutama yang menyangkut kedua aspek Injil seutuhnya yaitu vertikalis sekaligus horizontalis:

Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarkanlah mereka melalukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu (Mat 28:19-20).

Adalah tidak utuh bila kita galak di mimbar dalam menyorot dosa-dosa pribadi (berzinah, matrealistis, tamah), tetapi tutup mulut terhadap dosa-dosa sosial (keadilan, HAM, lingkungan hidup). Banyak penginjilan menyorot tajam jemaat yang beristri dua dan merokok tetapi lupa akan jemaat yang membayar buruhnya di bawah standar, mengotori sungai lingkungan dengan limbah beracun dan asap pabriknya. Banyak developer yang dimiliki orang Kristen justru menciptakan komunitas ekslusif demi mengejar uang. Banyak bank yang dimotori orang Kristen melakukan kulusi dan kebijaksanaan perkreditan yang sama dengan bank-bank yang mendewakan mamon.

Persekutuan mahasiswa dan alumni Kristen perlu diarahkan mengkaji masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Bahan-bahan PA juga perlu bersifat eksposisi yang mendarat dan konstektual. Dengan demikian kita menyiapkan kader-kader masa depan yang berimankan Injil seutuhnya.

Pembangunan Jangka Panjang (PJP-II) yang baru kita masuki menantang penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tinggi teknologi sekaligus tebal iman. Lalu sudah siapkah kita? Bukankah kita masih lebih banyak memboroskan dana untuk membiayai upacara ritual dan selebritis ibadah serta pembangunan gedung gereja maupun sidang-sidang gerejawi, tetapi alokasi pengembangan SDM sangat minim?  Kita harus sadar akan kelemahan para misionaris Indonesia pada masa kolonial, khususnya di Indonesia Timur. Mereka meninggalkan gedung gereja yang kekar, tetapi juga SDM yang parah dan komunitas Kristen yang tidak kuat.

Marilah kita mulai sekarang menjadikan komunitas Kristen yang sesuai kehendak-Nya!

 

*Dituliskan oleh Herlianto, Arsitek dan teolog yang melayani sebagai konsultan dan penginjil. September 1994 lalu ia membawakan makalah pada World Planning Congress di Beijing dan sempat mengamati dari dekat kehiduoan komunitas Komunis.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *