Philip Ayus:
Sodom dan Gomora

Sodom dan Gomora. Kedua negeri ini sering disebut-sebut namanya tiap kali ada perdebatan mengenai homoseksualitas. Dicatat dalam Alkitab, Allah menghukum Sodom dan Gomora karena dosa dan kejahatan mereka yang sangat berat, yang menimbulkan keluh-kesah orang-orang di sekeliling mereka. TUHAN tidak merinci kepada Abraham, kejahatan berat apakah yang dilakukan oleh penduduk Sodom dan Gomora. Demikian pula, kedua malaikat yang bermalam di rumah Lot tidak menyampaikan daftar keluhan apa saja yang disampaikan oleh orang-orang terhadap penduduk negeri yang ditinggalinya. Namun demikian, Alkitab memberikan sedikit gambaran mengenai sebagian kejahatan berat yang dilakukan oleh penduduk negeri yang dilaknat TUHAN tersebut.

Pada waktu kedua malaikat masuk ke rumah Lot, dikisahkan bahwa seluruh laki-laki yang ada di Sodom, baik tua maupun muda, mendatangi rumah keponakan Abraham itu dan meminta agar kedua orang yang bermalam di rumahnya dapat mereka “pakai” (Kej. 19:5). Dalam bahasa aslinya, kata yang digunakan untuk “pakai” adalah “עדי (dibaca: yada‘, artinya: mengenal), kata yang sama persis yang digunakan untuk menggambarkan persetubuhan antara Adam dan Hawa (lih. Kej. 4:1). Semua laki-laki di kota itu ingin memperkosa kedua tamu laki-laki Lot. Mereka bahkan menolak mentah-mentah tawaran Lot untuk “memakai” kedua anak gadisnya. Saking birahinya dengan sesama laki-laki, sampai-sampai mereka tidak tertarik secara seksual terhadap perempuan!

Kisah di atas biasanya menjadi salah satu rujukan untuk menolak tindakan homoseks. Meskipun penarikan kesimpulan itu bisa dimengerti, namun akan lebih bijak apabila dikatakan bahwa tindakan homoseks merupakan salah satu kejahatan yang dikeluhkan terhadap penduduk Sodom dan Gomora pada waktu itu, bukan satu-satunya—sekalipun bisa jadi porsi kejahatan seksual tergolong besar di antara kejahatan-kejahatan lain yang mereka lakukan.

Kejahatan sesungguhnya: mengambil-alih peran Allah
Apa yang terjadi pada penduduk Sodom dan Gomora merupakan konsekuensi dan pengulangan dari pelanggaran Adam dan Hawa sewaktu di Taman Eden. Ketika menawarkan kedua anak gadisnya, Lot berkata kepada para penduduk yang dikuasai birahi itu, “… perbuatlah kepada mereka seperti yang kamu pandang baik…” (Kej. 19:8). Mereka mengikuti natur dari dosa, yakni, sama seperti penawaran Iblis kepada Hawa, hasrat untuk menjadi sama seperti Allah: tahu apa yang baik dan yang jahat (lih. Kej. 3:5). Hanya saja, buah (ketidaktaatan) itu bukannya menjadikan manusia tahu, tetapi justru mendorongnya untuk mengambil-alih peran Allah: menentukan apa yang baik dan yang jahat.

Pada waktu SMP, saya pernah membolos bersama beberapa teman. Pada waktu itu, “strategi” membolos kami masih sederhana, yaitu tidak masuk sekolah dan pergi ke tempat lain. Ketika di bangku SMA, saya belajar “strategi” baru untuk meninggalkan pelajaran sepanjang hari secara resmi. Meskipun saya meninggalkan jam pelajaran secara resmi, pada dasarnya, yang saya lakukan di waktu SMP dan SMA adalah sama: membolos. Saya hanya menggantikan kata “membolos” dengan istilah lain.

Demikian pula halnya dengan berbagai tindakan dosa yang kemudian dipoles dengan istilah-istilah yang canggih, ilmiah, dan sebagainya, sehingga ia tak lagi bernuansa merah seperti kirmizi, melainkan putih seperti salju. Manusia ingin agar dosanya tampak putih seperti bulu domba, bukan merah seperti kain kesumba (lih. Yes. 1:18). Masalahnya adalah, mereka menginginkan itu semua terjadi di luar Tuhan. Dosa memang membuat kita “alergi” dengan segala sesuatu yang berbau ilahi. Karena itulah, maka segala sesuatu yang berpotensi menyingkapkan kejahatan dan dosa mereka pun dibuang ke tempat sampah—apalagi sasaran utamanya, jikalau bukan Tuhan dan firman-Nya?

Jadi, kisah Sodom-Gomora bukan hanya tentang perilaku homoseksual, tetapi lebih mendasar lagi, yakni mengenai pemberontakan terang-terangan terhadap Allah dengan mendefinisikan sendiri mengenai apa yang baik dan jahat. Moralitas dilenturkan, dan dosa didefinisikan ulang. Sebuah pilihan yang menimbulkan keluh kesah dari sekelilingnya dan kehancuran bagi mereka sendiri. Tak hanya itu, pilihan Lot untuk mendiamkan kejahatan di sekelilingnya selama bertahun-tahun itu juga turut andil dalam kebinasaan Sodom dan Gomora.

Diamnya orang-orang baik
Berdasarkan linimasa yang dibuat oleh para ahli, Lot menginjakkan kakinya pertama kali di Sodom pada tahun 2085 SM, dan penghukuman TUHAN atas kota-kota itu terjadi pada tahun 2067 SM. Jadi, Lot dan keluarganya telah tinggal di Sodom selama kira-kira 18 tahun. Alkitab mengisahkan, bahwa sejak Lot tinggal sebagai orang asing di Sodom pun, orang-orang di sana sudah “sangat jahat dan berdosa terhadap TUHAN” (Kej. 13:13). Alkitab juga mengisahkan, bagaimana Abraham sempat melakukan tawar-menawar kepada TUHAN mengenai berapa “kuota minimal” orang baik di Sodom agar Dia tidak menghukumnya, dan bahwa disepakati bahwa jika didapati sepuluh saja orang baik di Sodom, maka TUHAN tidak akan menghukumnya (Kej. 18:23-33).

Barangkali Abraham berpikir, bahwa keberadaan Lot dan keluarganya di sana akan membantu menyelamatkan Sodom dan murka Allah. Delapan belas tahun bukan waktu yang singkat, dan Sodom-Gomora bukan wilayah yang kecil, sehingga mungkin saja ada sepuluh orang baik di sana. Namun kita semua tahu, bagaimana akhir dari kota-kota itu.

Edmund Burke, seorang negarawan Inggris yang hidup pada abad ke-18 pernah menyatakan, bahwa satu-satunya prasyarat yang membuat kejahatan berkuasa adalah diamnya orang-orang baik. Sayangnya, itulah yang terjadi pada Sodom dan Gomora. Bukan hanya tidak berhasil “memprovokasi” (setidaknya enam dari) tetangga-tetangganya untuk bertobat, Lot bahkan menyerah dengan standar baik-jahat lingkungannya. Akibatnya, ia harus kehilangan semua harta bendanya, dan bahkan isterinya. Kita tidak bisa menjaga kekudusan pribadi sekaligus mendiamkan kejahatan berlangsung sedemikian hebat di sekeliling kita. Sama seperti sebuah lilin tidak dapat menyala tanpa menerangi sekelilingnya.

Perkataan lain dari Burke dapat menjadi perenungan kita bersama sekaligus menutup tulisan ini:

“Those who don’t know history are doomed to repeat it.”

________
Penulis adalah Staf Divisi Media Perkantas

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Satu pemikiran di “Sodom dan Gomora”